__temp__ __location__

Oleh: Topan Bagaskara
(Aktivis HAM & Demokrasi
Seorang Feminis | Pendaki Gunung 
Pendiri Komunitas Sua.ra Logika)

Pemimpin feodal, pengusaha tamak, dan aktivis belian merupakan ketiga hal saling berkelindan, bekerja sama menghantarkan sebuah negara pada jurang otoritarianisme. Pada dewasa ini, sebuah negara gemar menggiring rakyatnya hanya boleh berpikir pada dua persoalan; perut dan kelamin. 

Hal ini mereka lakukan demi menciptakan ruang kosong dari aktivitas berpikir. Rakyat tidak boleh dibiarkan berpikir tentang bagaimana hidup tidak sekadar hidup-hidup seyogyanya mencari makna tentang kehidupan yang subtantif. Rakyat Dilarang Kritis

Meskipun kita sepakat bahwa pergerakan tidak terlahir dari ruang-ruang kosong maupun sekumpulan otak yang berpikir. Akan tetapi, bagai laut dipagari bambu sebagai penahan lumpur, semua seolah-olah tertahan melalui transaksi gelap di sebuah meja makan.

Saya teringat, pertemuan para pemuda di Cikini, 15 Agustus 1945, yang kita kenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Sebuah kondisi dimana sebuah pergerakan terlahir dari ruang perdebatan alam pikiran untuk bersiasat bagaimana Negara Republik Indonesia segera dimerdekakan.

Masih dalam nuansa pergerakan, sekelompok pemuda mengatasnamakan seorang organisatoris berani melancurkan pikiran dan tenaganya hanya untuk memuaskan nafsu senior dan terjebak dalam festival politik uang. Sekelompok pemuda ini tentu memiliki alasan beserta berbungkus-bungkus tekanan ---diakhir melahirkan ketidakberdayaan untuk tidak mampu menolak.

Padahal ada gagasan dari Nietzsche tentang Ubermensch. Kata Nietzsche seorang Ubermensch adalah seorang yang bangga dengan dirinya ---tidak akan terpengaruh dengan pendapat orang, pemikiran orang lain, maupun sikap orang yang berhubungan dengannya. Dalam konteks ini saya berkehendak.

Memperbaiki kualitas diri jauh lebih penting dibandingkan sekadar membangun relasi. Relasi yang tidak didasarkan kualitas akan melahirkan penghambaan, bukan kesetaraan.

Ketertiban dalam berpikir adalah perangkat terbaik untuk bertindak secara tertib. Ketertiban tindakan adalah unsur pembangunan hubungan sosial yang berkualitas. Banyak hal yang dapat disederhanakan, tetapi penyederhanaan sebagai alih-alih menghindari ketertiban adalah tindakan yang dimulai dari ketidaktertiban pikiran.

Kemanusiaan yang adil beradab itu tidak ada dalam negara kolonial. Negara kolonial ialah ruang diskriminasi, penyeragaman, pembodohan dan kemiskinan. Sedang rakyat pribumi dipaksa hidup kalang-kabut dihantui ketidakpastian hidup, para elit kekuasaan maupun pengusaha hidup secara hedonis tanpa melibatkan sikap humanis, serta menjalankan kenegaraan secara absolut.

Coba bayangkan, ketika rakyat mendengar kemesraan antara penguasa dan pengusaha, sekaligus rakyat sadar dan tak sadar dijadikan seperti domba aduan. Maka tidak mungkin jika keadaan ini terus menerus kita tidak membuka mata, mencari kedaulatan berpikir serta memahami kemanusiaan yang adil beradab itu lebih penting ketimbang persatuan Indonesia.

----Di belakang panggung orang bisik-bisik kemaksiatan. Kemaksiatan itu ditutupi supaya publik tidak tahu yang disebut sebagai keburukan, penghianatan, dan kerasukan sebab yang dilihat hanya di depan panggung. Belakangan ini, publik dipertontonkan pertengkaran antara Penguasa dan Pengusaha serta tidak sedikit bromocorahnya adalah aktivis --yang sama-sama merasa dirinya dihinakan, padahal kita bisa bayangkan mereka pernah bertemu pada satu waktu dalam agenda membentuk skenario drama, yang kita kenal hari ini 'Pecah-Belah Bangsa'.

“Dalam tradisi ilmu pengetahuan, drama itu dimulai ketika diperlukan cara untuk mengevaluasi moral manusia”.

Dalam drama terdapat skenario undangan sebuah perjamuan oleh salah satu pihak untuk membantu membenarkan sebuah keadaan. Di dalam perjamuan bukan hanya orang tetapi juga ada anjing ---anjing diundang untuk makan remah-remah sisa di bawah meja.

Itu yang hari ini adalah sebagian skenario drama. Dibuat seolah-olah tragis dan membingungkan serta memecah belah publik. Inilah wajah hitam di balik panggung.

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie