__temp__ __location__

HARIAN NEGERI, Jakarta — Percakapan antara orang tua dan anak sering kali berubah menjadi pertengkaran, meskipun dimulai dengan niat baik. Hal ini kerap disebabkan oleh penggunaan kalimat yang kurang tepat, yang berujung pada salah paham dan ketegangan.

Pakar pengasuhan anak dan penulis buku The Self-Driven Child, William Stixrud dan Ned Johnson, mengungkapkan bahwa beberapa frasa yang sering digunakan orang tua justru tidak efektif dalam membangun disiplin diri pada anak.

Berikut empat contoh kalimat yang sebaiknya dihindari orang tua, serta alternatif positif yang dapat membangun hubungan dan komunikasi yang lebih baik:

1. “Jika kamu tidak bekerja keras sekarang, kamu akan menyesalinya selama sisa hidupmu.”

Menanamkan rasa takut bukan cara efektif untuk membangun motivasi intrinsik. Anak-anak tidak berpikir seperti orang dewasa dan tidak mampu membayangkan masa depan sejauh itu.

Alternatif:

“Kamu belum menguasai [X], tapi kamu bisa jadi lebih baik. Lihat seberapa jauh kamu sudah berkembang!”

“Ya, [X] memang sulit. Tapi jika kamu terus berlatih, kamu akan lebih percaya diri.”

“Ibu tahu [kelas X] sulit, tapi kamu belajar keras di kelas bisbol, dan kamu juga bisa melakukannya di kelas.”

2. “Tugasku adalah menjagamu tetap aman.”

Ketika anak-anak menganggap keselamatan adalah tanggung jawab orang tua, mereka bisa lengah. Padahal, anak perlu belajar membuat keputusan dan memahami risiko.

Alternatif:

“Ayah/Ibu tidak merasa nyaman dengan ini, dan inilah alasannya...”

Biarkan anak belajar dari kesalahan kecil dan evaluasi bersama setelahnya.

“Saya punya beberapa kekhawatiran tentang [X]. Bagaimana kamu akan menangani jika situasinya memburuk?”

3. “Ayah menghukummu karena kamu harus belajar bahwa perilaku ini tidak dapat diterima."

Penelitian menunjukkan hukuman tidak mengajarkan perilaku positif dan justru merusak hubungan anak dan orang tua.

Alternatif:

“Ayah kesal dengan apa yang terjadi. Bisakah kita bicara nanti bagaimana cara menghadapi situasi seperti ini lain kali?”

“Saya ingin tahu apa yang kamu alami. Bisa ceritakan ke saya?”

Bahas konsekuensi terlebih dahulu dan pastikan anak memahami dan setuju.

4. “Kamu menghabiskan terlalu banyak waktu di ponselmu.”

Pernyataan ini mengabaikan cara anak bersosialisasi di era digital. Pendekatan yang lebih inklusif akan membantu anak lebih terbuka.

Alternatif:

Tanyakan tentang aktivitas digital mereka dan sesekali ikut terlibat.

“Berapa lama lagi kamu butuh menyelesaikan ini? Ayah/Ibu ingin kamu tetap seimbang menggunakan waktumu.”

Ajak melakukan aktivitas lain secara sukarela: “Mau ke perpustakaan pilih buku baru bareng?”
Stixrud dan Johnson menekankan bahwa komunikasi yang efektif, penuh empati, dan berbasis pemahaman adalah kunci dalam membentuk anak yang mandiri, tangguh, dan percaya diri.

Melisa Ahci

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie