__temp__ __location__

Oleh :Siti Wikoyatul Widiah 

 

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan sosial, Generasi Z sering terpapar tekanan sosial yang berlebihan, baik dari lingkungan fisik maupun virtual. Keberadaan media sosial yang menjadi sarana utama dalam membangun identitas diri seringkali justru menimbulkan perasaan tidak aman, kecemasan sosial, dan perbandingan diri yang merugikan. Di samping itu, perubahan sosial yang cepat, ketidakpastian ekonomi, serta tekanan akademik dan karier turut memperparah beban mental yang mereka rasakan.

 Tak heran jika berbagai laporan menunjukkan peningkatan signifikan dalam angka gangguan kecemasan, stres, hingga depresi di kalangan generasi ini. Berdasarkan penelitian American Psychological Association (APA) pada tahun 2018, diketahui bahwa kelompok manusia yang paling rentan mengalami masalah kesehatan mental adalah anak muda berusia 15 hingga 21 tahun dibandingkan dengan generasi lain. 

Hasil penelitian APA tersebut, sekitar 91% dari generasi Z menunjukkan gejala emosional dan fisik yang berkaitan dengan stres, seperti depresi dan gangguan kecemasan. Stres dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi kesehatan mental yang buruk pada generasi Z. Selain itu Berdasarkan hasil survei Jajak Pendapat (Jakpat), sebanyak 59,1% gen Z mengalami risiko gangguan mental lebih besar ketimbang generasi X dan milenial. 

Generasi Z, atau yang dikenal sebagai individu yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012.  Mereka tumbuh dalam era digital yang sangat maju, di mana teknologi informasi dan komunikasi berkembang dengan cepat dan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Karakteristik khas dari generasi ini antara lain adalah literasi digital yang tinggi, keterhubungan sosial yang konstan melalui media sosial, serta kepedulian terhadap isu-isu global seperti keadilan sosial, keberagaman, dan perubahan iklim. Namun di balik keunggulan tersebut, Generasi Z juga menghadapi tantangan psikologis yang signifikan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental. 

Dalam menjalani kehidupan tentunya kita harus mengetahui bagaimana cara mengatur atau mengendalikan diri kita juga meyakini jika semuanya akan berjalan dengan semestinya. Pada dasarnya setiap manusia pasti ingin meraih suatu kedamaian dan kebahagiaan pada dirinya. Oleh karna itu, kita sebagai manusia perlu mengetahui serta memahami terhadap diri masing-masing agar dapat mengendalikannya. Maksud pengendalian diri di sini adalah mengendalikan persepsi, sehingga setiap manusia bisa mendapatkan hidup yang damai dan tenteram.

Oleh sebab itu, dalam menghadapi tantangan tersebut, muncul kebutuhan akan pendekatan filosofis dan psikologis yang dapat membantu Generasi Z dalam membangun ketahanan mental dan pengendalian diri. Salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan adalah filsafat Stoisisme, khususnya pemikiran Marcus Aurelius—seorang filsuf dan kaisar Romawi. Stoisisme menawarkan prinsip-prinsip sederhana namun mendalam, seperti penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali, fokus pada tindakan yang berada dalam kuasa individu, dan pengendalian diri terhadap dorongan emosional yang destruktif.

Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan, Stoicisme memberikan jalan untuk mencapai ketenangan. Dengan berfokus pada apa yang bisa kita kendalikan, kita bisa menyingkirkan kekhawatiran dan kegelisahan yang sering kali kita buat sendiri. Prinsip-prinsip Stoik membantu kita untuk hidup dengan tenang meski situasi di sekitar kita tidak stabil. Selain itu, Stoicisme mengajarkan kita untuk tidak bergantung pada kebahagiaan eksternal. Hidup yang bermakna bukan tentang memiliki lebih banyak hal, tetapi tentang bagaimana kita merespons dan menerima apa yang terjadi di luar kendali kita. Stoicisme bukan hanya filsafat, tetapi juga cara hidup yang mengajarkan kita untuk merespons dunia dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Dengan mengendalikan pikiran dan reaksi kita sendiri, kita bisa hidup lebih damai, fokus, dan bermakna, meskipun kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Stoik ini dalam keseharian, kita bisa menjalani hidup yang lebih seimbang, penuh kebajikan, dan tenang di tengah dunia yang terus berubah.

Konsep Pengendalian diri dalam Perspektif Filsafat Stoisisme

Kebijaksanaan yang berasal dari Yunani Helenistik dikenal sebagai stoisisme.  Zeno, filosofi pertama yang menyebarkan kebijaksanaan stosisme, juga membangun sekolah di teras-teras. Dari sanalah muncul istilah "stoa", yang memiliki arti "teras" dalam bahasa Yunani.  Henry Manampiring kemudian membawa stoisisme ke Indonesia, di mana dia menulis buku berjudul "Filosofi Teras", yang membahas bagaimana seseorang dapat mengendalikan dirinya untuk menjalani kehidupan yang bahagia dan damai dalam pandangan filsafat stoisisme.

 Stoisisme mengajarkan prinsip hidup yang membantu seseorang menghindari kesalahan dalam bertindak. Ajaran ini berfokus pada bagaimana menjalani kehidupan dengan lebih baik, melalui pemikiran rasional dan keyakinan bahwa manusia secara alami memiliki potensi kebijaksanaan dan kemampuan berpikir logis. Dengan berkembangnya sifat sosial dan kemampuan rasional tersebut, Stoisisme menempatkan keadilan dan kebijaksanaan sebagai tujuan tertinggi dalam hidup. Para penganut Stoisisme percaya bahwa tugas utama manusia adalah mencapai keunggulan dalam pengetahuan dan pemahaman hidup. Mereka juga melihat manusia sebagai makhluk yang istimewa, bermakna, dan mulia. Baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, karena memiliki kesadaran dan akal budi untuk memahami dunia.   

Terdapat sejumlah pelajaran penting yang bisa kita ambil dari konsep pengendalian diri dalam filsafat Stoisisme. Pertama, ajaran Stoik menekankan pentingnya menjalani hidup selaras dengan alam, yang berarti memfokuskan perhatian pada hal-hal yang positif dan menjauhkan diri dari sikap-sikap negatif seperti rasa curiga, iri hati, baper, terlalu sensitif, dan sejenisnya. Hidup yang baik menurut Stoisisme adalah kehidupan yang terus mengasah nilai-nilai kebajikan seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, serta kemampuan untuk menahan diri dalam menghadapi tekanan hidup. Kebijaksanaan di sini dipahami sebagai kemampuan untuk menyikapi apa yang berada dalam kendali kita maupun yang di luar kendali kita. Dalam pandangan filsafat Stoik, kebijaksanaan adalah soal bagaimana kita merespons berbagai persoalan hidup dengan pemahaman yang jernih dan tidak menyalahkan faktor eksternal. Sebab, berbagai masalah dalam hidup umumnya berkaitan erat dengan ketidakstabilan emosi, yang dapat memicu kesalahpahaman, overthinking, kecemasan, hingga stres.

Kedua, Stoisisme menawarkan pendekatan yang dikenal dengan dikotomi kendali, yang juga bisa dipahami melalui kerangka berpikir S-T-A-R-S (Stop, Think, Assess, Respond). Intinya, ada hal-hal yang berada dalam kendali kita, dan ada pula yang tidak. Dalam pandangan Stoik, kebahagiaan sejati hanya bisa diraih dengan fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Kita tidak akan pernah menemukan kebahagiaan sejati dengan menggantungkan diri pada hal-hal di luar kendali kita, seperti tindakan orang lain, penilaian orang lain, status sosial, ketenaran, atau kekayaan materi (Manampiring, 2019). 

Dalam kenyataannya, sering kali kita terjebak dalam kebiasaan membandingkan hidup kita dengan orang lain, yang akhirnya menimbulkan perasaan kecewa dan mendorong munculnya perilaku negatif. Sebaliknya, seseorang yang mungkin secara lahiriah tampak biasa saja tidak kaya, tidak populer, atau tidak menarik secara fisik namun tetap mampu bersikap baik dan menjaga emosinya, bisa jadi memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia. Filosofi Stoik memiliki daya tarik karena mampu menawarkan pandangan yang seimbang dan realistis; ia tidak menolak keinginan terhadap duniawi, tetapi menyadarkan kita bahwa hal-hal tersebut bersifat netral (indifferent), tidak memiliki nilai moral, dan tidak seharusnya menjadi pusat dari kebahagiaan manusia.

Ketiga, pengendalian persepsi dan interpretasi berarti bahwa semua kekhawatiran dan keresahan kita berasal dari pikiran kita sendiri, bukan dari semua peristiwa yang terjadi di lingkungan kita.  Kita harus menyadari bahwa pikiran kita adalah sumber segala rasa sakit, cemas, iri hati, dan khawatir.  Sebenarnya, kita memiliki kemampuan untuk mengubah cara kita berpikir dan melihat dunia tanpa mengubah masalah yang telah kita hadapi sebelumnya. Menurut perspektif Stoa, bahagia itu sederhananya adalah manakala kita terbebaskan dari emosi atau segala rasa perasaan yang menganggu.

Keempat, meningkatkan kekuatan mental, filosofi stoisisme mengatakan bahwa ada istilah "premeditatio malorum", yang berarti memikirkan hal-hal yang negatif atau jahat yang mungkin terjadi atau mudah terjadi di masa kini.  Namun, kita dapat mengendalikan hal ini dengan melatih segala hal yang pasti bersifat negatif. Tujuan dari latihan ini adalah untuk mencari jalan keluar dan mengurangi segala emosi negatif saat hal-hal yang tidak ingin terjadi tiba-tiba terjadi pada kehidupan kita.

Kelima, pemicu stres pribadi (personal stressor), merupakan bentuk ancaman terhadap kemungkinan kehilangan sesuatu yang berharga, seperti pasangan, harta, pekerjaan, dan sebagainya. Saat kita menghadapi musibah atau kesulitan, secara tidak langsung kita dihadapkan pada pilihan untuk memaknainya sebagai sesuatu yang positif (penuh hikmah) atau sebagai hal yang negatif. Bila kita menyadari bahwa musibah dan kesulitan merupakan bagian alami dari kehidupan, maka seharusnya kita belajar menerimanya dengan lapang dada. Dalam filsafat Stoisisme, terdapat konsep yang disebut latihan menderita (poverty practice), yang bertujuan untuk membantu kita mensyukuri setiap ujian hidup. Praktik ini melatih pikiran kita untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi, sehingga kita lebih siap secara mental dan tidak mudah bereaksi negatif terhadap peristiwa yang menantang.

Filsafat stoisisme memiliki dua prinsip utama di antaranya yaitu mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan yang bahagia dan mengalir dengan lancar tanpa konflik dengan orang lain. Menurut kaum stoa versi tertinggi manusia adalah dirinya sendiri, karena inilah kenapa tuhan meninggikan derajat manusia sehingga manusia memiliki kesanggupan alami untuk menjadi versi tertinggi pada dirinya sendiri.

Relevansi Pemikiran Marcus Aurelius bagi Gen Z

Marcus Aurelius, seorang filsuf Stoik sekaligus kaisar Romawi, memiliki relevansi yang kuat bagi Generasi Z yang tumbuh di era digital. Ajarannya tentang fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali diri sangat penting di tengah tekanan media sosial, standar pencapaian yang tinggi, dan krisis identitas yang kerap dialami anak muda masa kini. Aurelius mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada hal-hal eksternal, tetapi pada sikap batin kita dalam menghadapi kehidupan. Konsep ini dapat membantu Gen Z untuk lebih tenang, tidak mudah terpengaruh oleh opini orang lain, serta memiliki ketahanan mental yang lebih kuat.

Salah satu prinsip utama dalam Stoisisme adalah membedakan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang tidak bisa kita kendalikan. Marcus Aurelius menekankan bahwa kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di luar diri kita, namun kita bisa mengontrol cara kita meresponsnya. Dalam konteks Gen Z, ini sangat penting karena banyak dari mereka merasa tertekan oleh penilaian sosial, algoritma media sosial, dan ekspektasi eksternal. Dengan menerapkan prinsip ini, mereka dapat belajar untuk lebih fokus pada nilai diri dan proses hidup daripada hasil yang tidak pasti.

Aurelius juga mengajarkan tentang pentingnya hidup selaras dengan alam dan menjalankan kehidupan yang berbudi luhur. Ini bisa dimaknai sebagai dorongan untuk hidup lebih otentik, sadar, dan tidak terjebak dalam gaya hidup konsumtif atau pencitraan semata. Di tengah maraknya budaya FOMO (Fear of Missing Out) dan keinginan untuk selalu tampil sempurna di media sosial, pemikiran ini mengingatkan Gen Z untuk lebih menghargai ketenangan batin daripada validasi eksternal.

Selain itu, Aurelius mendorong seseorang untuk melakukan refleksi diri secara rutin, melalui catatan harian atau kontemplasi pribadi. Ini dapat diterapkan oleh Gen Z untuk memperkuat kesadaran diri dan mengasah kecerdasan emosional. Ketika banyak anak muda merasa cemas, overthinking, dan kehilangan arah, latihan harian semacam ini dapat menjadi alat yang efektif untuk menjaga kesehatan mental dan meningkatkan ketahanan diri dalam menghadapi tekanan hidup. Pada akhirnya, pemikiran Marcus Aurelius bukan hanya filosofi kuno yang tertinggal zaman, tetapi justru menjadi sumber hikmah yang relevan bagi kehidupan modern, terutama bagi generasi Z yang haus akan makna, kestabilan, dan kedamaian batin. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh distraksi, Stoisisme menawarkan jalan menuju keteguhan hati dan pengendalian diri, dua hal yang sangat dibutuhkan oleh generasi masa kini untuk tetap waras dan tumbuh secara utuh.

Oleh karena itu, Pengendalian diri dalam filsafat Stoisisme Marcus Aurelius menekankan pentingnya fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali individu, seperti pikiran, sikap, dan reaksi terhadap peristiwa. Prinsip ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan kesehatan mental yang dialami oleh Generasi Z, yang hidup dalam era digital penuh tekanan sosial, tuntutan eksistensi, dan arus informasi yang tak terbendung. Dengan menanamkan nilai-nilai stoik seperti ketenangan batin, penerimaan terhadap takdir, dan kehidupan selaras dengan akal sehat, Gen Z dapat membangun ketahanan mental yang lebih kuat. Stoisisme bukan hanya ajaran kuno, tetapi juga menjadi jalan reflektif dan praktis untuk menghadapi kecemasan, stres, serta krisis identitas yang kerap melanda generasi ini. Maka, pengendalian diri ala Marcus Aurelius menjadi filosofi yang tidak hanya relevan, tetapi juga penting untuk diterapkan dalam kehidupan modern Gen Z.

Melisa Mel

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie