HARIAN NEGERI, Yogyakarta – Peningkatan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia yang mencapai lebih dari 330 ribu laporan pada 2024, naik hampir 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya, mencerminkan situasi darurat sosial yang tak bisa diabaikan. Dr. Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum., Peneliti di Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) sekaligus Ketua Pusat Layanan Terpadu (PLT) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyebut fenomena ini sebagai “gunung es.”
“Kasusnya bukan tidak ada sebelumnya, hanya saja sekarang lebih banyak yang berani melapor karena kesadaran terhadap apa yang disebut sebagai kekerasan seksual mulai meningkat,” ujar Lindra dalam wawancara dengan Harian Negeri, Jum'at (24/5).
Menurutnya, peningkatan ini tidak serta merta menunjukkan bahwa kekerasan seksual makin marak, melainkan adanya keberanian korban untuk berbicara. “Dulu diam, sekarang sudah mulai bicara. Itu pun tidak semua. Masih banyak yang memilih memendam,” ujarnya.
Lindra menegaskan bahwa konteks kampus, termasuk di universitas Islam, juga tidak steril dari kasus serupa. Ia menyebut banyak laporan yang masuk ke PLT UIN Sunan Kalijaga, tetapi tidak semua berlanjut ke proses hukum. Salah satu sebabnya adalah beratnya beban psikologis korban.
“Bahkan orang dengan pendidikan tinggi sekalipun belum tentu mau melapor ketika menjadi korban. Ada rasa malu, takut, bahkan kekhawatiran merusak kehidupan rumah tangga mereka,” katanya.
Lebih lanjut, Dr. Lindra menyoroti bahwa bentuk kekerasan tidak selalu fisik, tapi juga bisa berupa pelecehan verbal dan digital. “Ada yang merasa hanya bercanda, tapi ternyata berdampak besar pada korban. Ada mahasiswa yang tidak bisa tidur setelah mendapat pesan seksual di grup online,” jelasnya.
Menurutnya, kesadaran akan batas-batas perilaku masih minim. Ia mencontohkan kasus dosen laki-laki yang merasa dekat dan menepuk bahu mahasiswi, namun justru dianggap melecehkan oleh korban. “Niat mungkin bukan seksual, tapi persepsi korban dan konteks sosial tetap penting diperhatikan,” tegasnya.
Ketika ditanya soal regulasi hukum, Lindra menilai bahwa kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi kemajuan signifikan. “Sudah ada dasar hukum yang bisa diacu, tinggal bagaimana implementasinya diperkuat di institusi pendidikan,” ujarnya.
Namun demikian, Lindra mengingatkan bahwa hukum saja tidak cukup. Transformasi budaya dan pemahaman kolektif harus berjalan seiring. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan hukum, karena ini menyangkut kebiasaan, nilai, dan struktur sosial yang sudah lama tertanam,” katanya.
Sebagai peneliti ISLaMS yang juga aktif meninjau proposal riset tentang kekerasan seksual di lingkungan pesantren dan lembaga pendidikan Islam, Lindra menekankan perlunya peran aktif institusi pendidikan untuk menciptakan ekosistem yang aman.
“Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang aman. Tapi kenyataannya, banyak korban muncul justru di dalamnya. Artinya ada yang salah dengan sistem perlindungan dan kesadaran kolektif kita,” ujarnya menutup.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami