HARIAN NEGERI, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Perkara 11/PUU-XXIII/2025 perihal Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Senin (10/3/2025) pukul 10.30 WIB.
Para Pemohon pada perkara a quo datang dari berbagai latar belakang, yaitu Asmania yang mengurus rumah tangga, Fauzan Hakami dan Muhamad Agus Salim selaku mahasiswa, Yayasan Indonesian Mental Health Association, Risnawati Utami selaku karyawan swasta, Rusin selaku pelaku usaha mikro, dan Warsiti Hajar selaku pengemudi ojek daring. Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP.
Sebagai informasi, sebelumnya, Pasal 4A ayat (2) huruf b dalam UU 42/2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mengatur bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sementara itu, pasal yang sama ayat (3) huruf a, g, j mengatur bahwa jasa pelayanan kesehatan medis, pendidikan, dan angkutan umum di darat-air-udara juga merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Setelah diundangkannya UU HPP, barang dan jasa yang termasuk dalam kategori tersebut dihapuskan dari daftar barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Adapun Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP pada dasarnya mengatur perihal tarif PPN dan mekanisme perubahannya.
Mengenai Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1) UU HPP, para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Secara khusus, terhadap Pasal 7 ayat (3) UU a quo, MK diharapkan menyatakan ketentuan tersebut konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai bahwa tarif PPN harus didasarkan pada indikator ekonomi, sosial, atau lingkungan. Selain itu, MK juga diminta menyatakan Pasal 7 ayat (4) UU HPP konstitusional bersyarat sepanjang perubahan tarif PPN diatur melalui undang-undang.
Petitum para Pemohon didasari oleh berbagai alasan, di antaranya, Pemohon IV, yaitu Yayasan Indonesian Mental Health Association, yang menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai penyedia advokasi bagi penyandang disabilitas psikososial. Yayasan ini merasa dirugikan dengan kenaikan pajak sebesar 11% serta penghapusan layanan kesehatan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN, sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (3) huruf g UU HPP.
Pemohon II, Fauzan Hakami, yang merupakan penerima beasiswa kuliah, mengungkapkan kesulitan keluarganya membiayai tempat tinggal dan kebutuhan dasarnya akibat pengenaan PPN pada barang-barang pokok yang diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU HPP. Menurut Fauzan, kenaikan biaya untuk makan, tempat tinggal, dan jasa transportasi semakin sulit dipenuhi akibat pengenaan PPN pada barang-barang tersebut.
Pemohon II turut mempersoalkan ketentuan perubahan tarif PPN yang dapat berkisar antara 5% hingga 15% sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP. Menurutnya, ketentuan a quo menimbulkan ketidakpastian hukum baginya karena tarif PPN dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pengukuran yang jelas dan transparan.
Senada dengan Pemohon II, Pemohon III, Muhamad Agus Salim, yang telah berkuliah sejak tahun 2021, juga mengungkapkan kesulitan dalam membiayai kuliah dan kebutuhan sehari-hari.
Agus menyatakan bahwa dengan kondisi yang dialaminya, tidak menutup kemungkinan ia tidak dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi karena biaya pendidikan dan kebutuhan pokok yang semakin tinggi. Agus menegaskan bahwa hak atas pendidikan merupakan hak konstitusional setiap warga negara. (RA)
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami