HARIAN NEGERI, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada Senin (10/3/2025) pukul 10.30 WIB. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 10/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh lima advokat, yaitu Bahrul Ilmi Yakup, Iwan Kurniawan, Yuseva, Rosalina Pertiwi Gultom, dan Bahrul Alwi.
Sebagai advokat dan penegak hukum, para Pemohon merasa sangat membutuhkan kepastian hukum dalam menjalankan profesinya. Kepastian ini diperlukan baik dalam norma undang-undang, peraturan perundang-undangan, maupun dalam penerapannya, termasuk dalam tindakan dan kebijakan yang diambil. Hal ini menjadi krusial agar para Pemohon dapat menegakkan hukum secara profesional dan kompeten.
Dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon harus mampu memberikan penjelasan yang tepat, benar, dan valid kepada klien, terutama mengenai pengadilan mana yang memiliki kompetensi absolut dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pertanahan yang telah bersertifikat.
Ketiadaan kepastian hukum ini berpotensi menimbulkan risiko hukum bagi para Pemohon dalam memberikan konsultasi, menyusun pendapat hukum (legal opinion), maupun dalam menangani perkara litigasi. Kepastian hukum menjadi elemen kunci bagi para Pemohon dalam membela kepentingan hukum klien secara efektif dan adil. Namun, kepastian hukum ini tidak terwujud akibat berlakunya Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang tidak memberikan kejelasan mengenai kompetensi absolut pengadilan dalam menangani sengketa pertanahan bersertifikat.
Ketiadaan kejelasan tersebut berdampak serius terhadap proses penyelesaian perkara pertanahan. Alih-alih mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, justru terjadi proses hukum yang panjang dan berbelit. Banyak perkara pertanahan yang harus melalui delapan tahapan pemeriksaan, mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK).
Proses yang sama juga terjadi di Pengadilan Negeri sebagai bagian dari peradilan umum, bahkan dalam praktiknya, PK bisa dilakukan lebih dari satu kali. Akibatnya, pencari keadilan harus menghadapi proses hukum yang sangat panjang, hingga muncul fenomena di mana perkara pertanahan tetap belum selesai meskipun pencari keadilan telah meninggal berkali-kali.
Para Pemohon mengalami kerugian hak konstitusional secara nyata dalam penanganan perkara di PTUN Palembang dan Pengadilan Tinggi TUN Palembang. Kedua pengadilan tersebut semula menyatakan bahwa perkara yang diajukan merupakan wewenang absolut PTUN. Namun, dalam putusan kasasi, tanpa memberikan pertimbangan hukum yang cukup (ongevoldoende gemotiveerd), Mahkamah Agung tiba-tiba menyatakan bahwa perkara tersebut merupakan wewenang peradilan perdata, sehingga gugatan para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
Para Pemohon kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK), tetapi kembali ditolak tanpa alasan hukum yang memadai. Keputusan ini tidak hanya merugikan para Pemohon sebagai advokat, tetapi juga klien mereka yang kehilangan kesempatan memperoleh putusan yang adil dalam peradilan yang seharusnya cepat dan efisien.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa PTUN memiliki wewenang absolut dalam mengadili sengketa pertanahan bersertifikat.
Selain itu, mereka juga meminta agar Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa pertanahan bersertifikat.
Dengan adanya kejelasan dalam kewenangan pengadilan, diharapkan penyelesaian perkara pertanahan dapat berjalan lebih efektif, memberikan kepastian hukum, serta menjamin keadilan bagi semua pihak yang terlibat. (FF)
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami