HARIAN NEGERI, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra meluruskan kesalahpahaman sejumlah tokoh masyarakat Aceh terkait pernyataannya tentang posisi Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dalam penyelesaian sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara.
Meski Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang sebagai bagian dari Provinsi Aceh, Yusril menilai masih ada interpretasi keliru terhadap pernyataannya.
"Tak ada satu pun di negeri ini yang menyangkal peran penting MoU Helsinki sebagai titik awal penyelesaian konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia," ujar Yusril dalam dialog bersama tokoh masyarakat Indonesia di Sydney, Kamis (13/6), yang dikutip dalam laman Antara News.
Yusril menegaskan dirinya terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses perumusan MoU tersebut saat menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara. Ia juga berperan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh bersama DPR hingga tuntas, bersama Menteri Dalam Negeri saat itu, Mohammad Ma’ruf.
Namun, menurut Yusril, dalam konteks penetapan status empat pulau itu, tidak tepat jika sepenuhnya merujuk pada MoU Helsinki ataupun UU Nomor 24 Tahun 1956. Pasalnya, UU tersebut hanya memuat daftar kabupaten di Provinsi Aceh tanpa menyebutkan secara eksplisit keberadaan keempat pulau tersebut.
"MoU memang menyebut UU 24/1956 sebagai acuan, tapi faktanya undang-undang itu tak menyebut sepatah kata pun soal empat pulau tersebut," tegasnya.
Ia menyebut bahwa rujukan hukum yang relevan saat ini adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 yang telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang itu ditegaskan bahwa penetapan batas wilayah kini dilakukan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), terutama jika undang-undang pemekaran daerah belum menetapkan koordinat batas wilayah secara rinci.
"Saya hanya menjelaskan dasar hukumnya sesuai regulasi terkini," jelas Yusril.
Ia pun menyayangkan adanya tudingan yang menyebut dirinya tidak menghormati MoU Helsinki. Menurutnya, anggapan tersebut tidak berdasar dan keliru memahami konteks pernyataannya.
Yusril menjelaskan bahwa keputusan Presiden Prabowo mengacu pada dokumen kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar. Kesepakatan itu disusun atas arahan Presiden Soeharto dan Mendagri Rudini, sebelum MoU Helsinki lahir.
"MoU Helsinki belum ada waktu itu, jadi sangat wajar jika keputusan saat ini mengacu pada kesepakatan 1992," ucapnya.
Menutup pernyataannya, Yusril menegaskan komitmennya untuk terus membela kepentingan masyarakat Aceh. Ia bahkan mengaku memiliki ikatan sejarah dengan Aceh sejak diperkenalkan kepada tokoh pejuang Aceh, Tengku Muhammad Daoed Beureueh, oleh gurunya, Prof. Osman Raliby, pada 1978.
"Nama Nanggroe Aceh Darussalam dan gagasan Qanun Syariat Islam saya usulkan jauh sebelum MoU Helsinki. Saya merasa berdosa pada Tengku Daoed dan Prof. Osman jika saya tidak membela Aceh," tandas Yusril.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami