__temp__ __location__

Oleh: Rizky Ramli (Ketua Umum HMI Komisariat Ilmu budaya Periode 2023-2024)

Di tengah gelombang investasi dan ekspansi industri ekstraktif di berbagai kawasan Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti Maluku Utara, muncul satu istilah baru yang dilemparkan secara sembarangan ke arah kelompok-kelompok kritis yakni “wahabisme lingkungan”. 

Sebuah istilah yang ditujukan pada aktivis, LSM, masyarakat adat, atau siapa pun yang menolak tunduk pada logika ekstraktivisme. Mereka dituduh sebagai fanatik ekologi, anti-pembangunan, bahkan pemecah bangsa seolah mempertahankan tanah leluhur adalah bentuk kejahatan ideologis. Padahal, yang sedang mereka perjuangkan bukanlah doktrin, melainkan kelangsungan hidup bersama. 

Tulisan ini bukan pembelaan membabi buta terhadap aktivis, Ini adalah undangan untuk berpikir jernih. Barangkali, istilah “wahabi lingkungan” bukanlah mereka yang meneriakkan “tolak tambang!”, tapi justru mereka yang berdiri di balik mimbar dakwah sambil menandatangani nota kesepahaman dengan korporasi perusak bumi. Yang menutup ruang debat, mengkhotbahi rakyat agar bersabar, dan menyebut protes sebagai bentuk kufur terhadap rezeki. Karena itu, menjadi penting untuk menelusuri kembali, siapa sesungguhnya yang bersikap fanatik dalam pertarungan wacana ini? Siapa yang memaksakan satu tafsir pembangunan, dan siapa yang membuka ruang tafsir lain demi kelangsungan ekologi dan keadilan sosial?

Jika Anda merasa terusik, barangkali Anda sedang berdiri terlalu dekat dengan pusat masalahnya.

Dogmatisme Ekstraktivisme dalam Narasi Pembangunan

Sejarah mencatat bahwa Wahabisme adalah gerakan pemurnian keagamaan yang lahir di abad ke-18, dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab di Semenanjung Arabia. Gerakan ini menekankan pemurnian akidah (tauhid) secara ketat, menolak praktik-praktik keagamaan lokal yang dianggap menyimpang, dan mengklaim satu-satunya tafsir sah atas kebenaran Islam. Wahabisme dikenal luas karena sikapnya yang puritan, eksklusif, dan cenderung menolak dialog serta keberagaman pandangan. Lebih dari sekadar aliran teologis, Wahabisme juga mencerminkan cara pandang yang tertutup terhadap pluralitas dan cenderung membungkam perbedaan atas nama kebenaran tunggal.

Namun dalam konteks kekinian, semangat Wahabisme itu tidak hanya hidup dalam ruang-ruang keagamaan. Ia menjelma dalam wajah pembangunan. Di banyak wilayah Indonesia, khususnya di timur seperti Maluku Utara, industrialisasi ekstraktif melalui pertambangan dan hilirisasi nike dipropagandakan sebagai satu-satunya jalan menuju kemajuan. 

Negara, dibantu oleh perusahaan, akademisi teknokratik, dan ormas besar, memproduksi narasi hegemonik bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai melalui ekspor mineral, pembangunan diukur dari jumlah smelter dan total investasi asing yang masuk.

Alternatif-alternatif seperti agro-maritim, pertanian berkelanjutan, ekonomi berbasis komunitas,  dianggap tidak rasional, bahkan  dicemooh sebagai romantisme usang. Kritik terhadap industrialisasi ekstraktif dianggap sebagai penolakan terhadap kemajuan. Dalam logika ini, Siapa pun yang bersikap kritis terhadap jalan tunggal pembangunan ini dianggap menyimpang. 

Siapa pun yang memperjuangkan kelestarian lingkungan, mempertahankan tanah adat, atau mengadvokasi partisipasi komunitas lokal kerap dituduh sebagai pengganggu stabilitas bahkan diberi label sinis dan manipulatif dengan sebutan “Wahabi lingkungan”. Padahal justru para pemuja tunggal pembangunan itulah yang sedang mempraktikkan fanatisme ideologis. Fanatisme bukan karena mereka punya keyakinan, tetapi karena mereka memaksakan satu jalan, menolak diskusi, dan menstigma keberbedaan sebagai ancaman.

Industri, Moralitas, dan Legitimasi Simbolik

Fanatisme dalam pembangunan bukan hanya hadir dalam bentuk logika ekonomi yang memaksakan industrialisasi sebagai satu-satunya jalan kemajuan. Ia juga menjelma melalui dukungan moralitas yang disakralkan. Jika dogma ekstraktivisme dibangun oleh kekuasaan negara dan korporasi, maka kekuatan ini diperkuat oleh legitimasi simbolik yang datang dari institusi keagamaan, tokoh adat, dan ormas besar. 

Disinilah pembangunan kehilangan nalar kritisnya dan berubah menjadi keyakinan absolut bukan sekadar kebijakan publik, melainkan seolah-olah perintah tuhan yang maha esa. Apa yang semula merupakan proyek ekonomi, disulap menjadi proyek moral. 

Di banyak wilayah kaya sumber daya seperti Maluku Utara, kita menyaksikan fenomena perusahaan tambang hadir bukan hanya dengan alat berat dan kontrak investasi, Mereka hadir bersama jaringan mitra sosial, termasuk tokoh-tokoh agama yang diundang memberi ceramah di hadapan karyawan tambang, program beasiswa CSR yang dibungkus narasi keumatan. 

Dakwah disisipkan dalam ruang produksi, khutbah disandingkan dengan pembangunan smelter, dan rezeki disamakan dengan royalti dari ekstraksi nikel. Narasi dominan yang dibangun adalah bahwa tambang bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga baik secara moral. Bahkan, dalam beberapa kasus, proyek industri ekstraktif disebut sebagai bagian dari "jalan rezeki umat".

Fenomena ini mencerminkan bentuk baru dari kolonialisme simbolik, ketika logika ekonomi ekstraktif disucikan melalui perangkat moral dan spiritual. Kritik terhadap tambang tidak dijawab dengan argumen, tetapi dengan fatwa-fatwa sosial tentang pentingnya bersyukur dan bersabar. Penolakan warga terhadap ekspansi konsesi dianggap sebagai bentuk kekeliruan niat atau kurangnya pemahaman terhadap realitas ekonomi global. 

Suara-suara dari masyarakat yang mempertanyakan pencemaran sungai, penggusuran lahan, atau dampak kesehatan jangka panjang justru dibalas dengan pesan-pesan religius tentang pentingnya bersikap moderat dan tidak berkonflik. Masyarakat yang menolak proyek tambang tidak lagi dilihat sebagai warga yang peduli terhadap tanah dan airnya, melainkan dianggap kurang bersyukur, anti-pembangunan, bahkan mungkin di anggap tidak beriman. 

Narasi iman direkrut untuk membungkam gugatan ekologis. Dogma lama berubah wajah, tapi tetap menolak pertanyaan. Padahal, di balik slogan “jalan rezeki umat”, yang terjadi justru penggusuran lahan pangan, krisis air bersih, dan konflik sosial yang membekas. 

Namun semua itu ditutupi oleh selimut kebajikan yang dirajut oleh institusi moral yang semestinya berdiri bersama rakyat. Di sini, kita tidak hanya menyaksikan kooptasi ekonomi, tetapi juga kooptasi makna. Agama tak lagi menjadi penjaga nurani publik, melainkan alat untuk melegitimasi ekspansi modal.

Lebih berbahaya lagi, kolaborasi simbolik ini melumpuhkan daya tahan sosial masyarakat lokal. Proyek sosial berbasis agama, yang semestinya menjadi penguat solidaritas, justru menjadi celah masuk untuk memecah gerakan resistensi. Komunitas tercerai-berai bukan oleh senjata, tetapi oleh santunan. 

Mereka yang diam dianggap suci, mereka yang bersuara dianggap keras kepala. Dan pada akhirnya, tambang tidak perlu melawan kritik, karena kritik sudah lebih dulu ditenggelamkan dalam lautan khutbah.

Ketika pembangunan bergandengan dengan dakwah, dan buldoser disambut dengan doa-doa syukur, maka siapa lagi yang akan menjadi benteng umat dan bangsa ketika institusi moral telah menjadi pagar tambang?

Rekonstruksi Makna “Wahabisme Lingkungan”

Siapa sebenarnya yang pantas disebut wahabi lingkungan? Apakah para aktivis, LSM, atau warga kampung yang menolak tambang dan mempertahankan hutan disebut wahabi karena terlalu keras kepala? Ataukah justru mereka yang duduk nyaman dalam lembaga besar, menyebut tambang sebagai anugerah, dan menutup ruang kritik dengan selimut moralitas itulah yang layak disebut Wahabi lingkungan?

Pelabelan “wahabisme lingkungan” sejatinya tidak lahir dari ketakutan terhadap fanatisme ekologis, melainkan dari kegelisahan elit terhadap potensi gangguan atas proyek besar yang sudah dirancang mapan. Label ini adalah strategi untuk menyingkirkan kritik, bukan untuk membangun diskusi. Padahal, dalam kerangka demokrasi, suara-suara dari pinggiran adalah bagian sah dari proses deliberatif. 

Penolakan terhadap tambang adalah bentuk tanggung jawab etis. Ia muncul dari pengalaman nyata tentang pencemaran air, penggusuran lahan, dan marginalisasi sosial. Namun, justru mereka yang bersikeras bahwa pembangunan hanya bisa lewat tambang dan tidak bisa ditawar itulah yang sedang memperlihatkan wajah wahabi sesungguhnya. 

Mereka menutup dialog, memonopoli tafsir, dan mencap semua bentuk kritik sebagai kesesatan. Maka diperlukan rekonstruksi makna. Menjaga hutan, menolak penggusuran, dan mempertahankan wilayah adat bukanlah radikalisme. Itu adalah bentuk keberanian sipil. Yang fanatik bukan mereka yang melawan, tapi mereka yang merasa kebal terhadap pertanyaan. Yang intoleran bukan para petani dan masyarakat adat yang menuntut keadilan, tapi para elit yang menolak mendengarkan.

Di tengah sempitnya ruang hidup dan menyusutnya ruang kritik, pelabelan “wahabi lingkungan” hanya memperparah luka demokrasi kita. Ia menjauhkan kritik dari legitimasi publik, dan menjustifikasi dominasi negara-korporasi dengan tameng moralitas.

Jika kita ingin masa depan yang adil, maka demokrasi ekologis harus dibuka seluas-luasnya tempat di mana perbedaan pandangan tidak dituduh fanatik, dan di mana keberlanjutan tidak dimonopoli oleh satu tafsir kekuasaan. Karena tanpa ruang kritik yang sehat, pembangunan bukanlah kemajuan melainkan pengulangan dogma yang dibungkus dengan jargon pertumbuhan.

Jadi, mari kita balik pertanyaannya, siapa sebenarnya yang wahabi? Mereka yang menolak tambang dan mempertahankan ruang hidupnya? Atau mereka yang tidak bisa ditanya, tidak bisa dikritik, dan selalu merasa paling benar dalam menentukan masa depan bumi?

Barangkali, wahabi lingkungan sesungguhnya bukan mereka yang bersuara di jalanan atau menulis laporan tentang pencemaran. Tapi mereka yang duduk di ruang ber-AC, menekan MoU, menyisipkan ayat dalam laporan tambang, dan meyakini bahwa semua yang menolak investasi adalah musuh pembangunan.

Agung Gumelar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie