__temp__ __location__

Oleh: Leonard Alfaro A.S

Di balik senyum manis seorang kanda dan sapaan lembut dari dinda, sering kali tersembunyi agenda yang tak tertulis namun sangat terstruktur. Ini bukan sekadar soal hormat kepada senior, melainkan bagian dari ritus sosial-politik yang disebut dengan seni “olah-olah”. Di dunia ini, yang penting bukan apa yang ada, tapi bagaimana sesuatu bisa “diolah” agar pada akhirnya ada “oleh-oleh” yang bisa dibawa pulang. Entah itu kursi, posisi, proyek, atau sekadar gengsi.

Dalam tradisi olah-olah, tidak ada dokumen resmi, tidak ada peraturan baku, bahkan tidak ada kode etik. Yang ada hanyalah bahasa isyarat, senyuman diplomatis, serta pelukan hangat yang penuh subteks. Dunia ini diatur oleh siapa yang tahu cara mengolah: mengolah isu agar jadi jabatan, mengolah hubungan agar jadi akses, mengolah organisasi agar jadi ladang.

Dan tentu, siapa yang pandai mengolah, biasanya tak pernah pulang dengan tangan kosong. Ada oleh-oleh di balik setiap manuver. Ada “amplop kepercayaan”, “proyek pembinaan”, atau bahkan “posisi transisi” yang seolah tak penting tapi penuh potensi. Maka lahirlah adagium kontemporer: yang penting bukan kerja, tapi siapa yang dijaga.

Bahasa patronase punya estetika tersendiri. Di ruang-ruang organisasi, forum aktivisme, hingga level partai politik, sebutan “kanda-dinda” menjelma jadi mantra. Di permukaan, ia tampak manis: penuh kasih, saling menghargai, dan berbalut keakraban. Tapi di balik itu, ada struktur kuasa. Ada jarak yang dijaga, ada posisi yang dipertahankan, ada hak istimewa yang diwariskan turun-temurun—mirip trah ningrat tapi versi modern.

Dinda boleh bersuara, tapi tak boleh lebih keras dari kanda. Dinda boleh berpendapat, tapi pada akhirnya harus “belajar dulu dari pengalaman kanda”. Dan kanda, tentu saja, sudah lebih dulu menguasai peta jalan menuju “oleh-oleh”.

Lucunya, semua ini berjalan tanpa perlu perintah langsung. Tak ada yang menyuruh, tapi semua paham. Ini semacam meta-operasi politik, di mana kita dididik sejak dini untuk membaca arah angin, memilih posisi aman, dan kalau bisa, bermain di dua kaki sambil tersenyum di dua kubu.

Di forum, kanda menyampaikan arah perjuangan. Di belakang, ia menyampaikan arah rekening. Di rapat, dinda mengajukan proposal kegiatan. Tapi di grup WA, ia mengajukan proposal perjalanan dinas.

Dan kalau tiba-tiba ada yang idealis, biasanya akan diberi label lucu: “anak muda yang belum cukup makan garam”. Atau yang lebih pahit: “dinda ini belum tahu medan”.

Seni “olah-olah” bukan sekadar teknik bertahan, tapi strategi menguasai. Bahkan idealisme pun bisa diolah: hari ini bicara tentang keadilan sosial, besok berbicara sebagai juru bicara calon pejabat. Hari ini menulis kritik tajam di media, lusa sudah jadi staf khusus yang sibuk klarifikasi.

Semua bisa diolah. Bahkan rasa kecewa pun bisa dijadikan alat untuk bernegosiasi.

Meritokrasi? Sekadar ilusi dalam power point presentasi pelatihan kepemimpinan. Karena yang naik bukan yang paling mumpuni, tapi yang paling “bisa diatur”.

Kita semua pernah tergoda untuk masuk ke dalam lingkaran ini. Dan sebagian dari kita mungkin sudah menjadi bagian darinya, sadar atau tidak. Kita menyebutnya kultur, tapi sejatinya ia adalah sistem. Kita menyebutnya loyalitas, tapi sejatinya transaksi.

Maka pertanyaannya bukan lagi: apa yang kamu perjuangkan?
Tapi: apa yang kamu olah, dan apa oleh-olehnya?

Karena dalam seni olah-olah, perjuangan sejati adalah bagaimana kamu tetap kenyang tanpa kelihatan rakus. Tetap loyal sambil negosiasi. Tetap kritis, tapi tahu kapan harus diam.

Selamat datang di dunia yang tidak hitam-putih. Dunia tempat kanda dan dinda saling mengolah, sambil memastikan tidak ada yang pulang tanpa oleh-oleh.

Yusuf Wicaksono

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie