Oleh: Liskawati Maryaman, Erina Safitri, Emilia Nurul Anjani (Mahasiswi Sosiologi UNUSIA Jakarta, Peneliti Lapangan di Pesantren Ekonomi Darul Uchwah)
Di dunia pendidikan, kita sering dipaksa memilih: menjadi santri atau mahasiswa. Tapi bagaimana bila seseorang harus menjadi keduanya dalam waktu bersamaan?
Pertanyaan itu muncul dalam benak kami saat melakukan riset lapangan di Pesantren Ekonomi Darul Uchwah, Jakarta Timur. Kami menemui sekelompok perempuan muda yang menjalani peran ganda sebagai santri dan mahasiswa. Di satu sisi, mereka hidup dalam struktur pesantren yang menekankan adab, spiritualitas, dan kedekatan dengan guru. Di sisi lain, mereka bergulat dengan tugas kuliah, presentasi akademik, dan dunia digital yang bergerak cepat. Kehidupan mereka menjadi cerminan dari dua sistem pendidikan yang tampaknya bertolak belakang namun dijalani secara bersamaan.
Dalam perspektif sosiologi, pengalaman mereka merepresentasikan dualisme identitas kultural (cultural hybridity), yaitu ketika individu hidup dalam dua medan sosial berbeda dengan sistem nilai masing-masing. Seperti dijelaskan Anthony Giddens, ini adalah ciri khas kehidupan modern yang refleksif: identitas bukanlah sesuatu yang diwariskan, melainkan proyek yang terus dibentuk ulang dalam interaksi sosial sehari-hari.
Kami berkesempatan mewawancarai Ustadzah Iis, pengajar senior dan istri dari lurah pesantren. Saat kami bertanya tentang perannya di lingkungan pesantren, beliau menjawab dengan rendah hati:
"Kalau ditanya saya ini sebagai apa di pesantren, saya bingung jawabnya. Pagi saya ngajar TK, siangnya di SMK, sorenya di TPQ, malamnya ngajarin anak-anak saya sendiri. Gajinya? Ya kalau orang lihat, kasihan. Tapi kalau yakin hidup kita dikasih ke Allah, Allah yang cukupkan.”
Dari perspektif sosiologi feminis, pengabdian seperti yang dilakukan Ustadzah Iis adalah bentuk kerja reproduktif tak terlihat (invisible labor) pekerjaan yang menopang keberlangsungan sistem sosial namun sering tidak diakui secara ekonomi maupun struktural. Dalam konteks pesantren, kekuatan pendidikan justru banyak terletak pada ketulusan dan relasi sosial semacam ini.
Ketika kami bertanya tentang respons pesantren terhadap modernitas, Ustadzah Iis menjelaskan:
“Ngaji ya tetap kayak dulu, sorogan, halaqah. Tapi kalau ngajarin tajwid, kadang pakai slide. Ada juga santri yang bikin konten dakwah. Jadi kami bukan anti teknologi. Tapi tetap, sepintar apa pun kalian, kalau nggak punya adab, ya percuma.”
Pernyataan ini mengingatkan pada pemikiran Emile Durkheim, bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses internalisasi nilai sosial. Ketika teknologi menjadi perantara utama, proses ini terancam kehilangan dimensi moral yang hanya bisa ditransmisikan lewat interaksi langsung.
Ustadzah Iis juga mengkritisi gaya hidup baru yang lahir dari penetrasi budaya digital:
“Sekarang kan zamannya Gojek, GoFood. Anak-anak makin konsumtif. Kadang ngerjain tugas sampai jam 3 pagi, padahal subuh harus berjamaah. Ini tantangan kita. Kita nggak bisa larang HP karena memang itu bagian dari kuliah. Tapi harus ada kontrol nilai.”
Kondisi ini menunjukkan adanya penetrasi kapitalisme digital ke dalam institusi tradisional seperti pesantren. Hal ini sesuai dengan analisis Pierre Bourdieu yang menyebut bahwa medan sosial (social field) selalu berada dalam pertarungan kekuasaan dan kapital simbolik. Ketika logika pasar dan produktivitas meresap ke dalam ruang belajar, maka ruh pendidikan perlahan tergantikan oleh capaian-capaian kuantitatif.
Ketika ditanya perbedaan antara pendidikan pesantren dan kampus, Ustadzah Iis menjawab:
“Sebenernya sama aja, hanya medianya beda. Di pesantren anak diajarin bicara lewat shalawatan, di kampus lewat jadi moderator. Yang penting, ilmunya tetap punya ruh.”
Namun realitanya, pendidikan tinggi saat ini cenderung menjauh dari nilai spiritual. Seperti dikritik Paulo Freire, pendidikan modern sering kali menjelma menjadi praktik "banking education" di mana mahasiswa hanya menjadi penampung informasi, bukan subjek yang sadar dan merdeka. Padahal pendidikan seharusnya membebaskan, menyadarkan manusia akan posisi dan tanggung jawabnya dalam masyarakat.
Ustadzah Iis menutup percakapan dengan kalimat yang sangat reflektif:
“Anak yang kuliah dan mondok itu lebih siap terjun ke masyarakat. Di luar sana bukan cuma butuh orang pintar, tapi orang yang mau mengabdi.”
Namun dalam sistem pendidikan meritokratis saat ini, pengabdian bukanlah indikator keberhasilan, kecuali ia bisa dihitung, dikonversi menjadi angka kredit, atau dipublikasi. Sistem yang hanya menilai keberhasilan dari IPK dan akreditasi akan kesulitan mencetak manusia yang utuh yang tak hanya pandai berpikir, tapi juga tahu untuk siapa pengetahuannya dipersembahkan.
Pengalaman riset kami di Darul Uchwah memberi pelajaran penting: bahwa kampus dan pesantren tidak harus bertentangan. Keduanya bisa saling belajar dan melengkapi. Kampus bisa mencontoh pesantren dalam membangun kultur keikhlasan dan kedekatan antarmanusia. Pesantren pun bisa mengambil praktik baik dari kampus soal akses teknologi dan keberanian berpikir kritis.
Kini saatnya sistem pendidikan nasional menyadari bahwa hasil tidak lebih penting dari proses, dan pengetahuan tidak lebih mulia dari kebijaksanaan. Di tengah era yang serba terukur, kita butuh lembaga pendidikan yang tidak kehilangan ruhnya yang membentuk manusia seutuhnya: sadar, berilmu, dan siap mengabdi.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami