HARIAN NEGERI, Yogyakarta - Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, mengkritik rencana Wahana Musik Indonesia (WAMI) yang mewajibkan pembayaran royalti jika lagu komersial diputar atau dinyanyikan dalam pesta pernikahan. Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi memicu praktik penagihan yang rawan premanisme.
“Kalau begini caranya, wacana royalti musik ini makin lama makin ngelantur. Semua sektor mau dikenakan, bahkan pesta pernikahan yang jelas bersifat nonkomersial. Ini sudah ngaco dan sangat membebani masyarakat,” ujar Sahroni dilansir dari Antara News, Jumat (16/8).
Ia menambahkan, beberapa musisi pun menolak wacana ini jika diterapkan sejauh itu. Menurutnya, penagihan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) berpotensi menimbulkan masalah, apalagi jika dikelola oleh individu yang memiliki latar belakang premanisme. “Sangat rawan,” tegasnya.
Sahroni juga menyoroti kurangnya sosialisasi terkait kebijakan tersebut. Ia menilai publik seperti dipaksa menerima aturan baru tanpa masa transisi. “Kalau memang ada wacana aturan baru, harusnya disosialisasikan dulu dengan baik. Jangan tiba-tiba masyarakat disuguhi hal yang sifatnya memukul rata,” ujarnya.
Politikus NasDem itu menegaskan, perlindungan hukum harus seimbang. Hak musisi untuk mendapatkan apresiasi tetap dijaga, namun masyarakat, khususnya rakyat kecil, pelaku UMKM, dan keluarga yang menggelar pernikahan, tidak boleh dipersulit.
Wacana dari WAMI ini mencuat di tengah polemik royalti musik di masyarakat, termasuk perdebatan soal penerapannya di pesta pernikahan. Berdasarkan keterangan WAMI, besaran royalti yang dikenakan adalah dua persen dari biaya produksi acara, meliputi sewa sound system, backline, honor penyanyi atau penampil, serta komponen lain yang terkait musik.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami