__temp__ __location__

HARIAN NEGERI, Yogyakarta – Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Laurensia Andrini, menegaskan bahwa royalti lagu bukan sekadar persoalan finansial, melainkan juga menyangkut pengakuan moral terhadap pencipta.

“Royalti itu melekat pada dua hal. Pertama, hak moral, yang berarti pencipta harus diakui dan karyanya tidak boleh sembarangan diubah, dipelesetkan, atau dimutilasi tanpa izin. Kedua, hak ekonomi, yaitu setiap kali lagu diputar di ruang publik atau dipentaskan, pencipta berhak menerima royalti,” kata Laurensia dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, dikutip dari antaranews.com, Sabtu (23/8).

Ia menjelaskan, perdebatan soal royalti muncul karena banyak musisi yang belum memperoleh hak mereka, meski karya sudah kerap diputar di berbagai tempat umum. Menurutnya, akar masalah ada pada dua sisi: Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang dinilai belum transparan serta pelaku usaha yang masih rendah kesadarannya dalam membayar royalti.

“Kalau menurut saya, ini permasalahan sistemik. Ketidaktransparanan bisa terjadi karena belum ada mekanisme yang jelas. Sementara itu, banyak pengguna juga belum menganggap pembayaran royalti sebagai kewajiban,” ujarnya.

Laurensia menuturkan, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan sejumlah aturan hukum untuk menata pengelolaan royalti. Mulai dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, hingga Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025 yang mengatur pembayaran royalti atas lagu dan/atau musik.

Sejak 2016, pemerintah sudah menetapkan tarif serta mekanisme pembayaran royalti. Pelaku usaha diwajibkan melaporkan frekuensi pemutaran lagu setiap bulan, kemudian pembayaran disalurkan ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “Secara normatif, pelaku usaha yang melaporkan, lalu LMKN akan mendistribusikan kepada LMK sesuai dengan musisi yang bersangkutan,” jelasnya.

Namun, Laurensia menilai praktik di lapangan masih kerap bermasalah, terutama karena budaya hukum di Indonesia yang cenderung komunal. “Di Indonesia kepemilikan lebih bersifat kolektif, bukan individu,” terangnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa secara hukum, LMKN memiliki kewajiban melakukan audit keuangan dan kinerja minimal sekali dalam setahun, dengan hasil diumumkan ke publik melalui media cetak nasional maupun media elektronik.

Gusti Rian Saputra

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie