HARIAN NEGERI, Yogyakarta – Berdasarkan laporan yang dikutip dari CNBC oleh Russell Leung, National Collegiate Athletic Association (NCAA) pada Kamis lalu mengumumkan pembaruan kebijakan yang melarang atlet transgender wanita untuk berkompetisi dalam olahraga wanita. Kebijakan ini diumumkan hanya sehari setelah Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang memerintahkan pemerintah federal untuk menghentikan pendanaan kepada sekolah-sekolah yang mengizinkan partisipasi atlet wanita transgender dalam kompetisi olahraga wanita.
Kebijakan terbaru ini menyatakan bahwa mahasiswa yang ditetapkan sebagai laki-laki saat lahir boleh berlatih dengan tim wanita dan mendapatkan manfaat terkait, seperti perawatan medis. Namun, mereka tidak diperbolehkan untuk mengikuti kompetisi resmi. Siswa dari semua jenis kelamin dan gender diperkenankan bergabung dengan tim pria, meskipun atlet yang mengonsumsi testosteron harus melalui prosedur pengecualian medis. Di sisi lain, mahasiswa yang ditetapkan sebagai perempuan saat lahir dan menggunakan testosteron atau menjalani terapi hormon juga dilarang berkompetisi di tim wanita.
Perubahan kebijakan ini menggantikan pedoman yang lebih fleksibel yang diadopsi oleh NCAA pada Januari 2022. Saat itu, NCAA mengikuti pedoman dari Komite Olimpiade Internasional dalam menentukan kelayakan atlet trans untuk berkompetisi. Presiden NCAA Charlie Baker menjelaskan bahwa kebijakan baru ini diharapkan memberikan standar yang lebih jelas dan seragam bagi atlet mahasiswa, yang lebih menguntungkan daripada hukum negara bagian dan keputusan pengadilan yang sering bertentangan. "Kami sangat percaya bahwa standar kelayakan yang jelas, konsisten, dan seragam akan lebih baik bagi atlet mahasiswa saat ini," ujar Baker dalam rilis berita NCAA.
Namun, kebijakan ini mendapat protes keras dari berbagai kalangan. Chris Mosier, seorang atlet triatlon transgender dan advokat hak trans, dalam video Instagram-nya menyatakan bahwa kebijakan ini menegaskan pandangan gender yang hanya bersifat biner dan tidak mengakui identitas nonbiner atau transgender. "Hal ini mencerminkan perintah eksekutif presiden yang berupaya membuat undang-undang yang melarang identitas trans dan nonbiner," kata Mosier.
Kelompok advokasi LGBTQ+, GLAAD, juga mengkritik kebijakan tersebut, dengan menyebut kebijakan ini tidak didasarkan pada bukti ilmiah yang memadai dan hak asasi manusia. Mereka menyebut kebijakan ini sebagai langkah yang "sangat mengganggu" dan prematur, serta diklaim sebagai respons terhadap retorika Gedung Putih Trump yang berusaha "melegitimasi diskriminasi dan kekerasan" terhadap komunitas transgender.
Dengan perdebatan yang berkembang seputar kebijakan ini, NCAA menghadapi tantangan besar dalam memastikan bahwa kebijakan baru ini dapat diterima oleh semua pihak sambil mempertahankan prinsip-prinsip inklusivitas dan keadilan di dunia olahraga.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami