__temp__ __location__

 

Oleh: Isfa’zia Ulhaq dan Fakhrizal Sa’dan Mansyur (Mahasiswa Universitas Nahdatul Ulama Indonesia)

Menatap Haru Pesantren

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan pendidikan nasional yang cenderung terpusat pada lembaga-lembaga formal dan modern, pesantren kerap berada di pinggiran perhatian negara. Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren tumbuh dan berkembang secara otonom mengandalkan solidaritas internal, kharisma kepemimpinan, dan daya tahan komunitas. Meskipun kontribusinya dalam mencetak generasi berakhlak dan religius telah diakui sejak sebelum kemerdekaan, regulasi negara terhadap pesantren masih minim dalam aspek struktural, pendanaan, dan pengakuan akademik.

Realitas ini menciptakan suatu ruang sosial yang unik: pesantren menjadi entitas yang mandiri, membangun sistem pendidikannya sendiri, lengkap dengan struktur sosial, mekanisme pengawasan, dan praktik sosial yang khas. Di balik keterbatasan dukungan negara, pesantren justru menampilkan ketahanan sosial dan kultural yang luar biasa. Ia bukan sekadar lembaga pengajaran agama, tetapi juga menjadi institusi sosial yang mereproduksi nilai, norma, dan kepemimpinan moral di tengah masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh modernisasi.

Penelitian ini berangkat dari kegelisahan sosiologis terhadap absennya perhatian struktural negara terhadap pesantren, namun sekaligus menyoroti bagaimana struktur sosial internal pesantren mampu menopang keberlangsungan pendidikan dan kohesi sosial tanpa bergantung pada intervensi eksternal. Dalam konteks ini, Pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqofi menjadi studi kasus yang menggambarkan kompleksitas dan kekuatan struktur sosial dalam mengelola lembaga pendidikan berbasis nilai tradisional dan spiritual.

Kalo Kata GusDur “Pesantren adalah Miniatur Indonesia”

Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tradisional tidak hanya berfungsi sebagai pusat transmisi pengetahuan agama, tetapi juga merupakan locus dari formasi struktur sosial yang khas. Berdasarkan hasil penelitian di Pondok Pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqofi, struktur sosial yang terbentuk memperlihatkan konfigurasi relasi sosial yang terorganisasi secara hierarkis, kultural, dan fungsional.

Dalam kerangka teori sosiologi klasik, dominasi posisi Kiyai  dalam struktur pesantren merupakan manifestasi dari otoritas tradisional sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber. Otoritas ini bersumber dari kharisma keilmuan dan legitimasi historis yang melekat secara turun-temurun. Hal ini menjadikan pesantren sebagai ruang reproduksi simbolik di mana kepemimpinan sakral memainkan peran sentral dalam pembentukan struktur normatif dan etis komunitas.

Lebih jauh, relasi antara Kiyai, ustadz, dan santri mencerminkan pola hubungan patron-klien, di mana otoritas dan pengabdian tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga ideologis dan moral. Sebagaimana dijelaskan oleh Zamakhsyari Dhofier (1994), relasi ini membentuk sistem paternalistik yang dilandasi oleh nilai-nilai religius dan etika kepatuhan.

Sementara itu, dinamika sosial yang tercipta di kalangan santri baik antara santri senior dan junior, maupun dalam konteks divisi-divisi organisasi internal seperti tarbiyah, ubudiyah, dan kesehatan—mengindikasikan adanya solidaritas mekanik dalam pengertian Durkheimian, di mana kesamaan nilai, norma, dan aktivitas sehari-hari menciptakan kohesi sosial yang tinggi. Dalam hal ini, pesantren bekerja sebagai sistem sosial yang homogen dengan diferensiasi peran yang mendukung integrasi struktural lembaga.

Proses sosialisasi dalam pesantren, khususnya pada santri baru, mencerminkan mekanisme pembentukan identitas kolektif yang terstruktur. Tahapan adaptasi, internalisasi nilai, hingga pelibatan aktif dalam kegiatan sosial menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya mendidik secara kognitif, tetapi juga melakukan transmisi habitus, dalam pengertian Bourdieuan, yang membentuk cara berpikir dan bertindak santri secara kolektif.

Dari aspek fungsional, pembagian kerja dalam divisi-divisi organisasi internal pesantren merepresentasikan diferensiasi fungsional, sebagaimana dijelaskan oleh pendekatan struktural-fungsional. Setiap fungsi sosial memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas dan keberlangsungan sistem sosial pesantren, menjadikannya tidak hanya lembaga normatif, tetapi juga organisasi sosial yang kompleks dan adaptif terhadap tantangan sosial-kultural modern.

Dengan demikian, struktur sosial dalam pesantren tidak dapat dipahami semata-mata sebagai warisan tradisional, melainkan sebagai konstruksi sosial yang dinamis. Ia berfungsi dalam membentuk identitas, mendistribusikan otoritas, serta menciptakan sistem pembelajaran yang bersifat holistik, baik dari aspek teologis maupun sosiologis.

Dari perspektif sosiologi, pondok pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqofi menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam tradisional memiliki kapasitas sosial yang tinggi dalam memproduksi keteraturan sosial, solidaritas kolektif, dan reproduksi nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, pesantren layak diposisikan sebagai arena strategis dalam studi sosiologi pendidikan, sosiologi agama, dan sosiologi organisasi.

Dalam kerangka teoritik, pesantren menjadi bukti bahwa struktur sosial tradisional dapat tetap bertahan dan bahkan berperan strategis dalam lanskap modernitas yang semakin kompleks. Lebih dari itu, pesantren merupakan representasi dari modal sosial institusional yang relevan untuk pembentukan karakter, disiplin kolektif, dan kesadaran komunal dalam masyarakat Indonesia kontemporer.

Seandainya Kami Kyai

Seandainya aku menjadi kyai, aku memahami bahwa posisi ini bukan sekadar jabatan keagamaan, melainkan kedudukan strategis dalam struktur sosial yang memegang peran penting dalam reproduksi nilai, norma, dan relasi kekuasaan di dalam komunitas pesantren. Dari sudut pandang sosiologis, kyai adalah figur karismatik sekaligus pemimpin tradisional yang memiliki otoritas sosial dan simbolik, yang berperan dalam menjaga keteraturan dan kesinambungan sistem sosial pesantren.

Dalam posisi ini, aku akan mengelola relasi sosial yang berjalan dalam pesantren sebagai suatu sistem patron-klien yang tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga bermuatan ikatan moral dan ideologis yang memperkuat solidaritas dan keterikatan antar anggota komunitas. Kekuasaan kyai bersumber dari legitimasi historis dan keilmuan yang diinternalisasi oleh para santri, membentuk dominasi paternalistik yang menjadi fondasi keteraturan sosial dan etika kepatuhan dalam pesantren.

Aku akan menjaga dan memperkuat mekanisme sosialisasi, terutama proses internalisasi habitus—cara berpikir dan bertindak yang diwariskan secara kolektif. Dengan demikian, pesantren menjadi ruang sosial yang membentuk identitas kolektif dan solidaritas mekanik, yang menjadi perekat kohesi sosial di tengah tantangan modernisasi dan marginalisasi struktural.

Lebih jauh, aku akan memelihara diferensiasi fungsional di dalam pesantren, seperti pembagian peran antara kyai, ustadz, santri senior dan junior, serta unit-unit organisasi internal. Pembagian kerja yang terstruktur ini penting untuk menjaga keseimbangan dan adaptasi sistem sosial pesantren agar tetap berfungsi efektif sebagai institusi pendidikan sekaligus organisasi sosial yang kompleks dan dinamis.

Dalam menjalankan peran, aku ingin agar struktur kekuasaan pesantren tidak menjadi penghalang bagi partisipasi aktif dan pemberdayaan anggota komunitas. Sebaliknya, kekuasaan tersebut harus menjadi sarana distribusi otoritas yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan sosial-kultural yang berkembang. Dengan cara ini, pesantren dapat menjadi arena dialektika antara tradisi dan perubahan, antara otoritas dan solidaritas, yang terus menerus mereproduksi nilai-nilai luhur dan modal sosial kolektif yang kuat.

Seandainya aku kyai, aku akan memastikan pesantren berperan sebagai ruang edukasi dan reproduksi sosial yang mampu mencetak generasi berilmu agama sekaligus kritis secara sosial dan berdaya secara kolektif. Pesantren harus menjadi laboratorium sosial yang menumbuhkan kesadaran pentingnya solidaritas dan tanggung jawab sosial dalam menghadapi tantangan zaman.

Pesantren adalah sistem sosial yang hidup dan kompleks, yang terus menegosiasikan peran dan kekuasaannya dalam konteks sosial yang terus berubah. Dengan memahami dan mengelola struktur sosial pesantren secara sosiologis, kyai dapat menjadi penggerak utama dalam mempertahankan dan mengembangkan pesantren sebagai ruang transformasi sosial dan budaya yang membumi dan relevan.

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie