Oleh: Muhammad Kamil Jafar N (Dosen Sekaligus Sekretaris Program Studi Sosiologi Agama, IAIN Manado)
Menjelang delapan dekade kemerdekaan Republik Indonesia, dunia pendidikan kembali menjadi sorotan. Pendidikan adalah jantung bangsa, karena di sanalah generasi penerus ditempa untuk menjadi manusia yang cerdas, berdaya, dan berkarakter. Namun, meski sudah 80 tahun merdeka, masih banyak persoalan mendasar yang belum juga tuntas: efisiensi, keadilan, transparansi, serta kualitas guru dan kurikulum yang masih jauh dari ideal.
Dari perspektif sosiologi, pendidikan adalah institusi sosial yang mestinya berfungsi sebagai mekanisme mobilitas sosial dan alat integrasi nasional. Tetapi ketika birokrasi pendidikan sarat dengan inefisiensi, pendidikan justru menjadi reproduksi ketimpangan sosial.
Konstitusi sudah menjamin anggaran pendidikan sebesar 20% APBN. Namun, pertanyaan klasik selalu muncul: mengapa dengan dana sebesar itu, kualitas pendidikan Indonesia belum melesat? Di banyak daerah, sekolah masih kekurangan ruang kelas, laboratorium terbengkalai, dan fasilitas digital sangat terbatas.
Dalam kacamata sosiologi, ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita belum efisien. Anggaran yang besar tidak otomatis menjamin hasil maksimal jika manajemen birokrasi masih berbelit. Sarana-prasarana sekolah masih timpang, distribusi guru tidak merata, sementara kualitas pembelajaran belum signifikan membaik.
Dalam perspektif teori sistem Talcott Parsons, institusi pendidikan seharusnya menjalankan fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola. Namun inefisiensi birokrasi membuat fungsi tersebut pincang, sehingga hasil pendidikan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Ketimpangan kota dan Desa - Keadilan dalam pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Anak-anak di perkotaan dengan mudah mengakses internet, bimbingan belajar, hingga sekolah unggulan. Sebaliknya, siswa di pedalaman harus berjalan jauh hanya untuk bisa belajar, bahkan ada yang masih menumpang di rumah penduduk karena sekolah rusak.
Ketimpangan ini memperlihatkan apa yang disebut sosiolog Pierre Bourdieu pernah menegaskan bahwa “Pendidikan sering kali mewariskan cultural capital yang timpang”. Anak dari keluarga berpendidikan lebih mudah sukses dalam sistem sekolah dibanding anak dari keluarga miskin. Ini menandakan bahwa dunia pendidikan masih mereproduksi kelas sosial alih-alih meruntuhkannya.
Transparansi - Keterbukaan informasi pendidikan masih menjadi masalah. Banyak orang tua yang kesulitan mengakses data terkait anggaran sekolah, proses penerimaan siswa, hingga kualitas capaian belajar. Padahal, dalam era digital, transparansi bukan lagi pilihan melainkan kebutuhan.
Tanpa keterbukaan, masyarakat tidak bisa ikut mengawasi dan memastikan pendidikan dijalankan dengan adil dan tepat sasaran. Transparansi adalah bentuk akuntabilitas sosial yang sangat dibutuhkan untuk membangun kepercayaan publik.
Kualitas Guru dan kurikulum : Jantung Pendidikan - Guru adalah aktor utama dalam dunia pendidikan. Namun, kualitas dan distribusi guru di Indonesia masih timpang. Ada sekolah di perkotaan dengan tenaga pengajar berlimpah, sementara di pelosok hanya ada satu-dua guru yang merangkap banyak mata pelajaran.
Di sisi lain, kurikulum sering berubah tanpa kesiapan matang. Alih-alih menjawab tantangan zaman, kurikulum kadang membingungkan guru dan siswa karena tidak sinkron dengan kebutuhan lapangan kerja maupun realitas sosial. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, hal ini menunjukkan adanya gap antara sistem pendidikan dengan struktur sosial-ekonomi yang dihadapinya.
Kita perlu merefleksikan kembali hakikat pendidikan. Pendidikan bukan sekadar rutinitas administrasi atau sekadar pencapaian angka-angka ujian. Pendidikan harus kembali ke tujuan dasarnya: membebaskan manusia dari kebodohan, memperkecil jurang ketimpangan, dan membuka ruang mobilitas sosial yang adil. Bangsa Indonesia tidak bisa maju jika hanya sebagian kecil warganya yang merasakan pendidikan berkualitas.
Pendidikan harus efisien dalam pengelolaan, adil dalam akses, transparan dalam proses, serta berkualitas tinggi melalui guru profesional dan kurikulum yang relevan dengan zaman. Di usia 80 tahun kemerdekaan, refleksi ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan. Ajakan agar kita bersama-sama menjaga pendidikan sebagai amanat kemerdekaan. Karena tanpa pendidikan yang benar-benar berpihak pada rakyat, cita-cita Indonesia merdeka yang adil dan makmur hanyalah akan menjadi retorika di atas kertas.
Refleksi menuju 80 tahun kemerdekaan ini seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang sistem pendidikan agar benar-benar berorientasi pada public good, bukan sekadar administrative routine. Pendidikan harus dikelola secara efisien, adil, transparan, dan bebas korupsi, agar benar-benar menjadi jalan menuju masyarakat yang cerdas, berdaya, dan bermartabat.
Tugas besar bangsa ini adalah mengembalikan pendidikan pada hakikatnya: sebagai ruang pembebasan dan pemerataan kesempatan hidup, bukan sekadar ruang birokratis yang membentuk kasta sosial baru. Pendidikan adalah jantung kemerdekaan. Jika ia masih dikuasai oleh inefisiensi, ketidakadilan, dan masalah lainnya, maka cita-cita kemerdekaan sejati masih jauh dari terwujud.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami