__temp__ __location__

Oleh: Rizky Ramli (Ketua Umum PRIMA DMI Maluku Utara)

Hari ini, masyarakat Provinsi Maluku Utara mungkin mengirimkan banyak karangan bunga dan ucapan selamat kepada Ibu Gubernur tercinta. Ada ucapan manis, ada doa panjang umur, ada juga harapan agar di bawah kepemimpinan beliau, daerah ini semakin maju. 

Tentu saja, saya mewakili teman-teman pengurus Wilayah PRIMA DMI Malut ikut mengucapkan “Selamat ulang tahun, Ibu Gubernur”. Semoga sehat selalu, kuat memimpin, dan punya telinga yang lebih peka untuk suara rakyat.

Tapi izinkan saya menyelipkan sesuatu yang mungkin jarang diberikan orang sebagai kado ulang tahun kejujuran yang sedikit pahit, tapi perlu ditelan.

Ekonomi Ekstraktif dan Krisis Ekologi

Maluku Utara dalam dua dekade terakhir mengalami lonjakan investasi besar-besaran di sektor pertambangan, khususnya nikel, yang kini menjadi komoditas strategis dalam rantai pasok industri baterai kendaraan listrik dunia. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2023) menunjukkan bahwa provinsi ini masuk dalam jajaran pusat industri nikel nasional, dengan keberadaan smelter dan kawasan industri di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Halmahera Selatan. Bahkan, Halmahera kini menjadi salah satu episentrum kebijakan hilirisasi mineral pemerintah pusat.

Kehadiran investasi ini memang mendorong pertumbuhan ekonomi makro. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara pada 2023 tercatat tumbuh di atas rata-rata nasional, sebagian besar didorong oleh subsektor pertambangan dan pengolahan logam. Namun, pertumbuhan tersebut menyisakan pertanyaan mendasar. Siapa yang benar-benar menikmati hasilnya?

Model pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam yang berskala masif telah memunculkan konsekuensi ekologis yang signifikan. Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM, 2024) mencatat pencemaran air di sejumlah wilayah pesisir akibat sedimentasi dan pembuangan limbah industri. 

Di Weda, Halmahera Tengah, warna air sungai di sekitar konsesi tambang berubah menjadi keruh kemerahan, mengindikasikan tingginya kandungan partikel tersuspensi. Nelayan di pesisir lelilef melaporkan penurunan drastis hasil tangkapan ikan, yang mereka kaitkan dengan turunnya kualitas ekosistem laut akibat limbah pertambangan.

Selain itu, data citra satelit yang dianalisis oleh Forest Watch Indonesia (2024) menunjukkan bahwa Maluku Utara kehilangan ribuan hektar tutupan hutan primer dalam lima tahun terakhir, sebagian besar di wilayah konsesi pertambangan. Hilangnya hutan tidak hanya berarti berkurangnya penyerap karbon, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati dan sumber air bersih bagi masyarakat lokal.

Dalam perspektif teori ekologi politik yang dikemukakan oleh Blaikie & Brookfield (1987), situasi ini menunjukkan bagaimana pembangunan di Maluku Utara masih menempatkan lingkungan sebagai variabel residual, faktor yang dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. 

Ekologi politik mengingatkan bahwa degradasi lingkungan bukanlah akibat sampingan yang netral, melainkan hasil dari relasi kekuasaan yang menempatkan kepentingan korporasi dan negara di atas hak-hak ekologis masyarakat.

Peringatan akan bahaya ini sejalan dengan temuan Jared Diamond dalam bukunya Collapse. How Societies Choose to Fail or Succeed (2005). Diamond menunjukkan bahwa banyak peradaban besar dalam sejarah seperti Pulau Paskah dan Kekaisaran Maya runtuh bukan semata karena perang atau bencana alam, melainkan akibat ketidakmampuan mereka mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Jika kerusakan lingkungan dibiarkan tanpa koreksi kebijakan, kemajuan ekonomi yang dibangun di atasnya akan menjadi rapuh dan tidak berumur panjang.

Dengan kata lain, krisis ekologi yang terjadi di Maluku Utara saat ini bukan hanya soal pencemaran atau deforestasi, tetapi merupakan indikator awal dari risiko keruntuhan sosial-ekonomi di masa depan. Tanpa perubahan paradigma pembangunan, pertumbuhan yang dibanggakan akan menjadi bagian dari narasi “kemajuan semu” yang, seperti peradaban-peradaban yang dikisahkan Diamond, perlahan menuju titik runtuhnya sendiri.

Represi terhadap Warga Maba Sangaji

Kasus penangkapan sebelas warga Maba Sangaji di Halmahera Timur pada awal 2025 merupakan ilustrasi nyata ketegangan antara kepentingan industri ekstraktif dan hak-hak warga negara atas ruang hidup. Warga tersebut ditangkap setelah melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas pertambangan di wilayah yang mereka klaim sebagai tanah ulayat sekaligus sumber penghidupan.

Tuduhan yang dikenakan menghalangi kegiatan perusahaan menunjukkan bagaimana kerangka hukum sering kali digunakan untuk melindungi kepentingan korporasi, sementara hak-hak masyarakat lokal dikesampingkan.

Fenomena ini selaras dengan konsep environmental justice yang dikembangkan oleh Robert D. Bullard (1990), di mana kelompok-kelompok yang secara sosial, ekonomi, atau politik termarginalkan cenderung menanggung beban terbesar dari degradasi lingkungan, sembari memiliki akses terbatas terhadap mekanisme perlindungan hukum. 

Dalam konteks Maba Sangaji, warga bukan saja menghadapi kerusakan ekologis akibat pertambangan, tetapi juga represi aparat yang seharusnya melindungi mereka.

Praktik kriminalisasi semacam ini bukanlah fenomena tunggal di Maluku Utara. Laporan Amnesty International (2023) mencatat pola serupa di berbagai wilayah Indonesia, di mana protes lingkungan kerap direspon dengan kekuatan koersif negara. 

Pola ini memperlihatkan apa yang Peluso & Watts (2001) sebut sebagai violent environments situasi di mana lingkungan yang rusak dan konflik sumber daya alam dipelihara oleh relasi kekuasaan yang asimetris antara negara, korporasi, dan masyarakat.

Perbandingan dengan kasus internasional memperkuat urgensi kritik ini. Di Nigeria, komunitas Ogoni yang menolak operasi minyak Shell pada 1990-an menghadapi penangkapan massal, intimidasi, bahkan pembunuhan tokoh masyarakatnya, Ken Saro-Wiwa. 

Di Amerika Latin, konflik tambang di Peru dan Guatemala menunjukkan pola yang sama, yakni masyarakat adat yang membela wilayahnya sering dihadapkan pada aparat bersenjata, sementara perusahaan tetap beroperasi.

Dalam perspektif hak asasi manusia, penangkapan warga Maba Sangaji merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia. 

Prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat juga mengharuskan setiap proyek yang berdampak pada wilayah adat mendapatkan persetujuan yang bebas, tanpa paksaan, dan didasarkan pada informasi yang lengkap. Dengan demikian, represi terhadap warga Maba Sangaji tidak hanya persoalan hukum pidana lokal, tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan komitmen internasionalnya untuk melindungi hak-hak masyarakat terhadap lingkungan hidup yang sehat dan kelestarian wilayah adatnya. 

Dalam kerangka ini, pembangunan berbasis pertambangan di Maluku Utara tidak dapat dikatakan berhasil selama ia berjalan beriringan dengan perampasan ruang hidup dan kriminalisasi warganya.

Momentum Ulang Tahun sebagai Titik Balik

Ulang tahun seorang kepala daerah semestinya tidak hanya menjadi perayaan personal, tetapi juga momentum introspeksi kebijakan. Dalam hal ini, tantangannya adalah menggeser paradigma pembangunan dari orientasi jangka pendek berbasis ekstraksi ke arah pembangunan berkelanjutan yang menempatkan kesejahteraan manusia dan kelestarian ekosistem sebagai prioritas utama.

Kado terbaik untuk Maluku Utara di hari ulang tahun pemimpinnya bukanlah proyek-proyek baru yang spektakuler, melainkan keberanian untuk mengoreksi arah kebijakan yang tidak adil secara sosial dan ekologis.

Terakhir dari saya, Perubahan arah pembangunan bukan sekadar pilihan teknis, melainkan keputusan politik. Maluku Utara membutuhkan kepemimpinan yang berani melawan arus kepentingan jangka pendek demi keberlanjutan hidup generasi mendatang. 

Sejarah akan mengingat seorang pemimpin bukan karena jumlah gedung yang diresmikan, tetapi karena keberpihakan yang nyata kepada rakyat dan alamnya.

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie