Oleh: Syaefunnur Maszah
Idul Fitri tahun ini menghadirkan momen yang tak hanya sakral secara religius, tetapi juga sarat makna politis. Di tengah suasana kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, Presiden Prabowo Subianto bersilaturahmi dengan Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Pertemuan yang telah lama diperbincangkan ini akhirnya terealisasi pada Senin malam, 7 April 2025, di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Momen ini menjadi sorotan publik, bukan hanya karena tokoh yang terlibat, tetapi juga karena potensi dampaknya terhadap arah politik nasional.
Secara simbolik, pertemuan ini mencerminkan pesan bahwa politik tidak melulu soal pertarungan, tetapi juga soal pertemuan dan rekonsiliasi. Idul Fitri yang dikenal sebagai hari saling memaafkan menjadi panggung ideal untuk membuka lembaran baru dalam hubungan dua tokoh besar ini. Bagi Prabowo, ini adalah langkah cerdas dalam merangkul semua kekuatan politik demi memperkuat fondasi pemerintahannya yang telah dimulai.
Dari perspektif Prabowo, kehadiran Megawati dan PDIP dalam orbit kekuasaan bisa memberikan legitimasi politik yang lebih luas. PDIP masih memiliki basis massa yang kuat dan jaringan politik yang teruji. Dalam hal ini, Prabowo menunjukkan kemampuan sebagai pemimpin yang tidak segan menyambung komunikasi, meski dengan mereka yang dulunya berada di kubu berseberangan. Ini adalah sinyal kedewasaan politik dan kesiapan memimpin dengan pendekatan inklusif.
Namun, ada pula sisi strategis yang tak boleh diabaikan. Megawati, sebagai tokoh sentral PDIP dan mantan presiden, memiliki posisi tawar yang signifikan. Merujuk pada teori elite circulation dari Vilfredo Pareto, stabilitas politik suatu negara sering kali ditentukan oleh kemampuan para elite untuk beradaptasi dan berbagi peran dalam struktur kekuasaan. Kehadiran Megawati dalam lingkaran konsultatif pemerintahan Prabowo bisa menjadi jangkar penting untuk menjaga harmoni elite politik nasional, setidaknya dalam jangka pendek.
Meski demikian, publik tentu tidak serta-merta menerima pertemuan ini tanpa kekhawatiran. Beberapa kalangan mempertanyakan apakah koalisi yang terlalu besar justru mengancam prinsip check and balance dalam demokrasi. Jika semua kekuatan politik utama bergabung ke dalam pemerintahan, siapa yang akan menjadi oposisi? Siapa yang akan mengawasi jalannya kekuasaan agar tidak melenceng dari kepentingan rakyat?
Kekhawatiran semacam ini tentu valid. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kuat, bukan hanya untuk mengkritisi, tetapi juga untuk menawarkan alternatif kebijakan. Jika Prabowo gagal menjaga keseimbangan ini, maka potensi dominasi kekuasaan bisa menimbulkan resistensi publik, terutama dari kelompok-kelompok masyarakat sipil yang vokal terhadap isu demokrasi dan transparansi.
Meski begitu, ada optimisme yang bisa ditumbuhkan. Prabowo bukan sosok baru dalam dunia politik. Ia telah melalui berbagai dinamika, dari kompetisi pilpres hingga menjadi menteri pertahanan. Ia memahami bahwa merangkul bukan berarti tunduk, dan membangun koalisi bukan berarti menumpulkan kritik. Prabowo bisa menjadikan sinyal dukungan Megawati sebagai modal politik, sambil tetap membuka ruang bagi suara kritis untuk menjaga kualitas pemerintahannya.
Silaturahmi ini seharusnya tidak dimaknai sebagai kompromi kekuasaan semata, tetapi sebagai bagian dari proses pembentukan harmoni nasional. Dalam situasi global yang tidak pasti dan tantangan ekonomi yang kompleks, Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu merangkul semua kekuatan tanpa kehilangan arah dan prinsip. Prabowo tampaknya ingin membuktikan bahwa ia mampu memainkan peran itu.
Idul Fitri telah mempertemukan dua tokoh besar dalam suasana hangat. Kini bola ada di tangan Prabowo: apakah ia akan menjadikan momentum ini sebagai awal dari pemerintahan yang inklusif, kuat, namun tetap demokratis? Rakyat menunggu, dan sejarah akan mencatat setiap langkahnya.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami