Oleh: Liskawati Maryamah (Mahasiswa Sosiologi Universitas Nahdratul Ulama Indonesia)
Relasi antara gerakan keagamaan dan partai Islam di Indonesia merupakan fenomena sosial-politik yang menarik untuk dianalisis melalui kacamata sosiologi keagamaan. Gerakan keagamaan bukan hanya organisasi spiritual atau dakwah, tetapi juga aktor sosial-politik yang mampu membentuk dan mengarahkan kekuatan politik melalui partai Islam. Kasus Gerakan Tarbiyah dengan PKS dan Gerakan Tradisionalis NU dengan PKB memperlihatkan bagaimana relasi ini merefleksikan dinamika perubahan sosial, konstruksi identitas, dan negosiasi kekuasaan di Indonesia.
Fungsi Agama sebagai Sistem Makna dan Legitimasi Sosial
Menurut Peter L. Berger (1967) dalam The Sacred Canopy, agama berfungsi sebagai sistem makna yang memberi “kanopi sakral” pada dunia sosial. Sistem makna ini menyediakan legitimasi dan kestabilan bagi kehidupan sosial sekaligus memberi pedoman bagi individu dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Dalam konteks Indonesia, Gerakan Tarbiyah dan NU masing-masing menjadi “kanopi” bagi kelompok sosial dan politiknya.
Gerakan Tarbiyah yang tumbuh di lingkungan kampus-kampus dan perkotaan membangun wacana Islam modernis dan reformis yang berorientasi pada pembaruan moral dan sosial. Tarbiyah mendefinisikan dirinya sebagai agen perubahan yang menuntut penegakan nilai-nilai Islam secara lebih konsekuen dalam ranah sosial dan politik. PKS, sebagai representasi politik dari gerakan ini, menyalurkan aspirasi moral-religius tersebut ke ranah legislatif dan eksekutif.
Sementara itu, NU dengan tradisi keagamaan yang berakar pada tradisi pesantren dan kultural lokal menegaskan pentingnya harmoni sosial dan toleransi sebagai bagian dari praktik keagamaannya. PKB sebagai representasi politik NU berupaya menjembatani tradisi keagamaan dengan tuntutan politik modern tanpa kehilangan akar historis dan kulturalnya.
Strukturasi dan Agen: Peran Aktif Gerakan Keagamaan dalam Politik
Anthony Giddens (1984) melalui teori strukturasi menjelaskan bahwa struktur sosial adalah hasil dari praktek agen sosial yang berulang. Gerakan keagamaan di Indonesia bukan hanya pasif mengikuti struktur politik yang ada, melainkan aktif mereproduksi dan mengubahnya.
Gerakan Tarbiyah dan NU mereproduksi identitas sosialnya lewat partai politik masing-masing. PKS dan PKB bukan sekadar kendaraan politik, melainkan medium untuk menegosiasikan nilai-nilai keagamaan dalam kebijakan publik. Hal ini menunjukkan bahwa agen (gerakan keagamaan) dan struktur (partai politik) saling membentuk dan berinteraksi secara dinamis. Misalnya, PKS dengan agenda Islamisasi moral di parlemen, sementara PKB sering mengusung isu keberagaman dan pluralisme yang lebih inklusif.
Konflik dan Integrasi: Dua Wajah Hubungan Agama dan Politik
Max Weber (1922) dalam The Sociology of Religion mengungkapkan bahwa agama memiliki dualitas fungsi—sebagai sumber legitimasi dan sebagai potensi konflik. Di Indonesia, tarik-ulur antara modernitas dan tradisi tercermin dalam relasi Tarbiyah-PKS dan NU-PKB.
Gerakan Tarbiyah, dengan basis ideologis yang lebih puritan dan reformis, sering kali mengalami ketegangan dengan kelompok tradisionalis NU. Perbedaan ini tidak hanya pada praktik keagamaan, tetapi juga visi politik dan sosial. Namun demikian, kedua kelompok ini juga berusaha berintegrasi dalam sistem demokrasi Indonesia melalui mekanisme politik yang ada.
Konteks Lokal dan Global: Pengaruh Modernisasi dan Globalisasi
Martin van Bruinessen (1994) menekankan pentingnya memahami konteks lokal dalam analisis sosiologi agama Indonesia. NU yang sangat berakar pada kultural pesantren tradisional mempraktikkan agama secara kontekstual, sedangkan Tarbiyah lebih dipengaruhi oleh gerakan Islam transnasional yang membawa ide-ide reformasi dan modernisasi.
Globalisasi membawa arus gagasan baru yang memengaruhi cara gerakan keagamaan memposisikan diri dalam politik. Misalnya, PKS mengambil inspirasi dari gerakan Islam di Timur Tengah dan dunia Melayu, sedangkan NU lebih menekankan pada nilai-nilai lokal dan nasionalisme yang inklusif.
Identitas Sosial dan Mobilisasi Politik
Henri Tajfel dan John Turner (1979) dengan teori identitas sosial menunjukkan bahwa kelompok agama berperan sebagai basis identitas sosial yang kuat. Gerakan Tarbiyah dan NU membentuk identitas yang berbeda yang berfungsi sebagai modal sosial dalam mobilisasi politik.
PKS dengan basis pemilih yang mayoritas generasi muda dan urban, serta NU-PKB dengan basis tradisional dan pedesaan, menunjukkan variasi identitas sosial yang berimplikasi pada pola mobilisasi politik yang berbeda. Perbedaan ini menciptakan pluralitas dalam spektrum politik Islam Indonesia yang dinamis dan beragam.
Kesimpulan
Relasi antara gerakan keagamaan dan partai Islam di Indonesia, seperti antara Gerakan Tarbiyah dengan PKS dan NU dengan PKB, sebenarnya menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama dan politik dalam kehidupan sosial kita. Hubungan ini bukan cuma soal mendukung partai tertentu, tapi lebih pada bagaimana identitas keagamaan dibentuk dan diperjuangkan lewat jalur politik.
Gerakan-gerakan ini tidak cuma sekadar kelompok keagamaan yang berdiam di ruang ibadah, tapi juga aktif berperan dalam politik untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini. PKS dan PKB itu bukan cuma partai politik biasa, tapi juga perpanjangan tangan dari gerakan keagamaan yang membawa nilai-nilai dan harapan sosial dari anggotanya.
Kalau kita lihat dari sudut pandang sosiologi, agama memberi makna dan aturan main dalam masyarakat, jadi wajar kalau partai-partai ini juga berusaha mewujudkan nilai-nilai agama itu dalam kebijakan dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, gerakan dan partai ini saling membangun dan menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang terus terjadi, sehingga mereka bisa terus relevan dan diterima oleh masyarakat luas.
Perbedaan antara Tarbiyah yang lebih modernis dan NU yang lebih tradisional juga memperlihatkan keragaman cara beragama dan berpolitik di Indonesia. Meski berbeda, keduanya sama-sama memainkan peran penting dalam demokrasi kita, menjaga agar suara agama tetap didengar tapi dengan cara yang berbeda.
Jadi, gerakan keagamaan dan partai Islam itu sebenarnya dua sisi dari satu koin yang sama. Mereka saling mendukung dan berperan agar nilai agama tetap hidup dan berpengaruh di masyarakat, sekaligus ikut menentukan arah politik Indonesia.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami