Oleh: Fuad Bawazier - Dewan Pakar Gerindra, Mantan Menteri Keuangan
Memasuki resto, kafe-kafe di seluruh Jakarta, harga barang dicantumkan tanpa angka ribuan. Biasanya hanya tercantum 30k, 100k. Penghilangan 3 angka nol ini ternyata tidak membingungkan atau menyesatkan para pembeli. Harga-harga yang tercantum jadi kelihatan rapi dan tidak menakutkan.
Orang asing yang sudah lama tinggal di Indonesia, nampaknya lebih menyukai penyederhanaan atau perampingan penulisan rupiah, bahkan penyebutan angka-angka harga dengan menanggalkan bilangan ribuannya. Harga Rp100.000,- akan dicantumkan 100k. meski disebutkan 100k, mereka tentu saja mengetahui, yang dibayarkan dengan uang senilai Rp100.000,-.
Dalam berbagai macam publikasi atau laporan yang mencantumkan angka rupiah, hampir dapat dipastikan akan disederhanakan dalam ribuan, jutaan, atau miliaran. Lihatlah laporan keuangan perusahaan yang biasa dipublikasikan, tentu ada “pengecilan” penulisan angka rupiahnya. Apalagi Nota Keuangan dan RAPBN yang diajukan pemerintah yang sudah mendekati ribuan triliun rupiah, biasanya disampaikan dalam bilangan jutaan rupiah.
Dalam pembicaraan sehari-hari baik di kalangan atas maupun bawah, di pasar modern maupun tradisional, di kota maupun di desa, hampir dapat dipastikan “budaya” meringkas atau menyederhanakan angka rupiah itu berlaku.
Misalnya ketika kita ke pasar, para pedagang akan menyebutkan 10 untuk harga 10.000, atau 50 untuk harga 50.000. Dan pembeli tentu mengerti berapa harga sebenarnya yang dimaksud. Ketika bilangan yang sama disebutkan oleh sales dealer sepeda motor, tentu 10 berarti 10.000.000, alias dalam jutaan.
Praktik yang lazim ini praktis hanya berlaku bila berkaitan dengan penyebutan atau penulisan rupiah. Seseorang tidak akan menyebutkan 10 untuk nomor rumah atau nomor surat 10.000 misalnya. Atau nomor perdagangan 2000 tidak akan disebutkan atau dikatakan 2 misalnya.
Nilai mata uang suatu negara yang terlalu rendah sehingga sangat berbeda jauh dengan nilai mata uang lainnya mengesankan “Ada yang salah dalam pengelolaan ekonomi negara tersebut”. Nilai mata uang yang rendah selintas juga mengesankan harga barang dan jasa di negeri itu mahal, atau menimbulkan kesan amburadulnya ekonomi negara tersebut. Rasanya sulit membangun kepercayaan terhadap mata uang yang nilainya rendah atau jatuh.
Rupiah yang berlaku sekarang ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 1966 ketika pemerintah melakukan pemotongan uang Rp1000,- menjadi Rp1,- yang membuat masyarakat panik dan harus mengganti uang rupiah yang beredar dengan uang rupiah baru. Antrian penukaran uang terjadi dimana-mana dan pada saat itu barang apa saja dibeli bila bisa dibayar dengan uang lama.
Inflasi yang terlah berlangsung lebih dari 50 tahun ini tentu telah menggerogoti nilai rupiah sehingga kini semua bilangan minimal dalam ribuan. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah, menteri keuangan, Bank Indonesia menyederhanakan nilai rupiah mengikuti pola atau budaya yang sudah berlangsung mulus di masyarakat selama ini.
Dalam penerbitan atau pengedaran yang baru sebagai pengganti uang yang telah beredar 5 tahun, Bank Indonesia menerbitkannya dalam bilangan baru yakni Rp100,- untuk Rp100.000,- atau Rp50,- untuk Rp50.000,-. Uang baru ini akan beredar bersama-sama dengan uang lama, jadi tidak ada kejutan atau kepanikan.
Dalam jangka 5 tahun paling lama uang lama telah tersedot masuk kembali ke BI dan yang beredar tinggal uang baru. Dalam satu tahun pertama saja saya yakin masyarakat sudah terbiasa dan lebih menggunakan uang dengan nominal yang baru. Kurs rupiah terhadap dollar pun akan menjadi $1 = Rp15,- misalnya, dan rupiah nampak lebih berwibawa atau bergengsi. Cara yang mulus ini sudah dipraktikkan di Turki dan berhasil.
Dan cara ini sekaligus akan memaksa mereka yang menyimpan uangnya di rumah (biasanya dari hasil korupsi atau ilegal lainnya) harus mengeluarkan dari simpanannya itu karena takut uangnya tidak berlaku lagi. Ingat kasus Zaroef orang Mahkamah Agung yang menyimpan uangnya tunai di rumah sampai Rp1T. Makanya uang LAMA harus dinyatakan tidak berlaku lagi katakanlah setelah 3 tahun.
Kesimpulannya, kita mengecilkan kurs rupiah dengan mengecilkan denominasi rupiah dengan membantu mengurangi korupsi.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami