Oleh: Syaefunnur Maszah
Langkah Prancis yang menyatakan akan mengakui kedaulatan Palestina pada bulan Juni mendatang disambut antusias oleh Hamas. Pernyataan Presiden Emmanuel Macron tersebut dinilai sebagai terobosan penting dalam perjuangan Palestina mendapatkan pengakuan internasional. Dalam tanggapannya, Hamas menyebut keputusan ini sebagai “langkah penting yang, jika dilaksanakan, akan menjadi perubahan positif dalam posisi internasional terhadap hak-hak nasional yang sah dari rakyat Palestina kami.” (AFP, 10/4). Hal ini menunjukkan bahwa diplomasi global masih dapat memainkan peran kunci dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Timur Tengah.
Sebagai kelompok perlawanan yang memiliki posisi dominan di Jalur Gaza, Hamas telah lama menjadi bagian dari dinamika politik dan perjuangan bersenjata rakyat Palestina. Meskipun organisasi ini dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara lainnya, namun di mata sebagian besar masyarakat Palestina dan sejumlah negara di Global South, Hamas tetap dianggap sebagai kekuatan pembela hak-hak rakyat Palestina. Respons positif terhadap langkah Prancis mencerminkan kapasitas politik Hamas dalam membaca perkembangan diplomasi internasional dan memanfaatkannya untuk memperkuat posisi Palestina di panggung global.
Langkah Prancis juga tidak lepas dari konteks tekanan internasional terhadap Israel yang semakin meningkat, terutama pasca serangan-serangan besar-besaran di Gaza sejak Oktober 2023. Negara-negara seperti Afrika Selatan, Bolivia, dan Irlandia telah lebih dulu mengecam keras tindakan militer Israel yang dinilai melampaui batas kemanusiaan. Di forum-forum internasional, semakin banyak negara yang menunjukkan keberpihakan terhadap Palestina, atau setidaknya menyerukan gencatan senjata dan penyelidikan terhadap dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel.
Dalam perspektif politik internasional, teori “Balance of Power” dalam hubungan internasional yang dikemukakan oleh Hans Morgenthau menjadi relevan. Teori ini menyatakan bahwa sistem internasional cenderung menuju keseimbangan kekuatan untuk mencegah dominasi satu aktor atas aktor lainnya. Dalam konteks ini, pengakuan terhadap Palestina oleh negara-negara besar seperti Prancis dapat dilihat sebagai upaya membangun kembali keseimbangan kekuatan antara Palestina dan Israel di level diplomasi global. Ini bisa menjadi titik awal bagi terbentuknya konsensus internasional baru yang lebih adil bagi Palestina.
Dampak pengakuan Prancis tentu saja akan melampaui sekadar simbolik. Jika langkah ini diikuti oleh negara-negara Uni Eropa lainnya, maka akan tercipta tekanan politik dan ekonomi terhadap Israel. Pengakuan diplomatik akan membuka akses yang lebih luas bagi Palestina dalam forum internasional seperti PBB dan Mahkamah Pidana Internasional. Ini juga berpotensi memperkuat posisi negosiasi Palestina dalam upaya mewujudkan solusi dua negara (two-state solution) yang selama ini selalu digagalkan oleh kebijakan ekspansionis Israel.
Di sisi lain, penolakan keras Israel terhadap langkah ini menunjukkan betapa strategisnya pengakuan tersebut. Menteri Luar Negeri Israel langsung mengecam rencana Prancis, menunjukkan bahwa pengakuan kedaulatan Palestina oleh kekuatan besar Eropa dipandang sebagai ancaman serius terhadap hegemoni diplomatik dan narasi historis Israel selama ini. Israel tampaknya menyadari bahwa mereka mulai kehilangan legitimasi moral dan dukungan publik internasional, terutama pasca semakin banyaknya laporan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di wilayah pendudukan.
Peran Hamas di tengah dinamika ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya bergerak melalui jalur militer, tetapi juga aktif merespons peluang-peluang politik dan diplomasi. Pernyataan positif terhadap Prancis bukan hanya ekspresi sambutan biasa, tetapi bagian dari strategi politik untuk menunjukkan keterbukaan dan kesiapan menghadapi pergeseran geopolitik internasional. Hamas tampaknya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka dapat menjadi bagian dari solusi, bukan semata-mata aktor konflik.
Dalam iklim global yang mulai jenuh terhadap kekerasan tanpa akhir di Palestina, langkah-langkah seperti pengakuan kedaulatan oleh negara-negara besar sangat penting. Dunia internasional, terutama negara-negara nonblok dan global selatan, kini memiliki momentum untuk bersama-sama mendorong resolusi damai yang adil bagi Palestina. Jika diplomasi ini terus bergulir, maka bukan tidak mungkin Palestina akan mendapatkan posisi yang lebih kuat dalam arsitektur hukum dan politik internasional.
Akhirnya, kita dapat menaruh harapan bahwa babak baru sedang dimulai bagi Palestina. Pengakuan dari Prancis bisa menjadi pembuka jalan bagi dukungan yang lebih luas. Dengan dukungan diplomatik yang terus menguat dan tekanan internasional terhadap Israel yang semakin keras, masa depan Palestina tak lagi sebatas retorika. Kini, harapan untuk kemerdekaan yang sejati dan pengakuan kedaulatan yang sah mulai menemukan pijakan nyata di tengah dunia yang perlahan sadar akan pentingnya keadilan dan kemanusiaan.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami