Oleh: Abdullah Karmadi (Kader HMI Cabang Ternate)
Dewasa ini, system Pendidikan adalah salah satu instrument kesalingterhubungan, antara kurikulum, model pembelajaran dan pendidik untuk membangun sumber daya manusia pada satuan Pendidikan, SD, SMP, dan SMA.
Kurikulum Pendidikan kita, sering berubah, mulai dari KTSP, K13 sampai Merdeka Belajar. Ketika pergantian kekuasaan system Pendidikan dan kurikulum pun ikut berbuah. Benarkah demikian?
Menteri Pendidikan sebagai etenitas pengelolaan Pendidikan, kurikulum dirancang untuk menciptakan dunia Pendidikan yang mampu bersaing di segala sektor, sesuai dengan kebutuhan zaman baik peserta didik maupun pendidik/pengajar. Dunia pendidikan di Indonesia memiliki landasan hukum atau Undang-undangnya sendiri, sebagai payung utama dalam memproyeksi kurikulum dan model pembelajaran yang relevan.
UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
Dari keseluruhan model kurikulum kita, dari masa ke masa ada suasan brik untuk menyesuaikan diri, mulai dari system Pendidikan bahkan model kurikulum, dari KTSP, K13 dan Merdeka Belajar. Kini kita memasuki era baru, Menteri Pendidikan Sains dan Teknologi di ubah menjadi dua bagian, dari kemdikbud menjadi kemdiktisaintek dan Mendikdasmen.
Kesalingterhubungan
Negara-negara yang berhasil meproyeksi system Pendidikan dan menciptakan model kurikulum Pendidikan yang berimbang untuk menggali potensi peserta didik dan menconvensikan kebutuhan dasarnya menjadi model pembelajaran.
Finlandia, misalnya yang menempatkan siswa sebagai prioritas utama dan mendorong pengembangan mereka secara keseluruhan. Pendekatan yang inklusif dan merata, serta memakai kurikulum yang luas dan beragam, membuat system Pendidikan mereka menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
Mengapa sistem Pendidikan di Finlandia maju? Ternyata kunci utamanya adalah ada pada soal Kebijakan. Pertanyaannya apakah Indonesia, secara khusus dan Maluku Utara. bisa?
Inilah tantangan kita pada aspek Pendidikan, kebijakan yang lahir tidak di dasari pada aspek kebutuhan Pendidikan yang memang piur sesuai dengan realitas Pendidikan yang ada di Maluku Utara.
Secara gamlang, kabijakan Pendidikan kita harus inklusif dan salingketerhubungan. Kesalingtehubungan antara kurikulum dan model pembelajaran harus bersentuhan langsung dengan nilai budaya yang ada di Maluku Utara.
Olehnya itu, salah satu model pembelajaran yang relevan adalah menggunkan model pembelajaran discovery learning (belajar menemukan). Setiap peserta didik di ajak serta menggali potensi dirinya masing-masing. Potensi itulah yang di kembangkan dan menjadi barometer untuk mengukur sejauh mana peserta didik mengenal dirinya (personal potential), sehingga setiap peserta diri telah mengetahui dan menetukan pasca study di SMA/SMK mau bergening di bidang apa. Model pendekatan pembelajaran inilah yang di kembangkan di Finlandia. Namun, yang saya belum temukan soal kemajuan Pendidikan di Finlandia pada aspek keterlibatan local wisdom, mungkin saya belum sepenuhnya membaca buku-buku yang lain.
Pengembangan bahan ajar berbasis local wisdom
Maluku Utara sebagai provinsi yang terdiri dari beragam etenitas buadaya, menjadi keistimewaan tersendiri atau nilai tambah katakanlah demikian. Tentunya, jika berhasil mengkonvensi kearifan local dalam bagunan kurikulum, maka model pengembangan bahan ajar di Maluku Utara akan lebih menarik dan kontekstual dengan asas yang ada di dalam System Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam beberapa study penelitian, paradigma peserta didik pada tingkatan SMA/SMK menghadapi tantangan yang cukup serius, kehadiran pertambangan salah satunya dan ketidakpastian masa depan semacam menjadi ketakutan seseorang untuk melanjutkan study.
Ketidakpastian masa depan inilah yang mengakibatkan seseorang yang baru saja menyelesaikan study SMA/SMK, memilih untuk bekerja di pertambangan.
Untuk menjembatani masalah ini, system Pendidikan, kurikulum serta model pembelajan harus benar-benar menyentu langsung pada peserta didik. Sederhananya adalah system, kurikulum, model pembelajaran, serta metode harus melalui pendekatan kearifan local.
Olenya itu, kita perlu mempertimbangan ulang system, kurikulum dan model pembejalan yang di gunakan. Seminimal mungkin kearifan local harus dimaknai sebagai peluang untuk mendorong seseorang bersekolah bukan hanya pesoalan pekerjaan, tapi soal apakah yang didapatkan bisa berkontribusi terhadap daerahnya.
Sampai disini, kita akan paham betul mengapa orang harus berpendidikan! Ternyata orang yang berpendidikan punya nilai lebih, khusunya pada aspek cara berfikir. Maka orang akan berbondong-bondong sekolah bukan karena hanya untuk bekerja, tetapi untuk berdampak bagi daerahnya.
Untuk mengukur sejauh mana pembangunan sumber daya manusia maju, bukan hanya sekedar lewat Pendidikan gratis. Tapi sejauh mana pemerintah mampuh menselaraskan Sisdiknas dengan kebijakan daerah, lewat kurikulumnya, model pembelajarannya dan guru yang berkualitas dan dihormati. Sebenarnya ini yang harus menjadi prioritas pemerintah Maluku Utara, dalam memproyeksikan kebijakan yang relevan dengan kurikulum dan model pembelajaran yang berbasis local wisdom tadi.
Maluku utara yang syarat akan konflik interens, menjadi faktor ketidakseriusan pemerintah mengawal secara masif proses peningkatan kualitas sumber daya manusiaanya. Singkat kata, dominasi kepentingan politik yang menjadi cover depan dalam setiap diskursus di kalangan-kalangan elit, mempengaruhi keberlangsungan kualitas Pendidikan yang ideal.
Untuk itu, dalam mengelolah pemerintahan, setiap lembaga-lembaga Pendidikan harus punya latar belakang Pendidikan yang kuat dan serius. Melepaskan sejenak “juba” kepentingan politik, demi kepentingan bersama. Alhasil untuk menempuh jalan itu, kurikulum Pendidikan kita harus kembali pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Maluku Utara.
Kadang saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya terlalu ambisius mengatakan bahwa yang menjadi benteng terakhir dalam sistem pendidikan kita di Maluku Utara adalah nilai-nilai kearifan lokal.
Di tengah keterbukaan informasi yang begitu cepat, lebih mengharapkan peserta didik jatuh cinta pada nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran, dari pada tertarik pada konten viral yang tidak edukatif.
Maka biarlah saya menjadi seorang mahasiswa Pendidikan yang sedikit naif, yang tetap memilih jalan sunyi untuk mengajarkan bahwa belajar soal nilai-nilai kearifan lokal adalah cara hidup yang lebih original, karena kita belajar pada jati diri, identitas dan manusiawi.
Dari sanalah harapan bertunas. Dari sanalah, mungkin anak-anak kita akan kembali belajar membaca Maluku Utara sebagai Provinsi yang punya keistimewaan budaya dan kearifan lokal, bukan hanya dikenal sebagai negeri penyumbang nikel terbesar di dunia.
Meminjam kutipan dari Sri Haldoko, dalam puisi “The Road Not Taken” karya Robert Frost, “I took the one less traveled by”.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami