__temp__ __location__

Óléh: Syaefunnur Maszah

Mudik Lebaran merupakan momen istimewa yang dinanti jutaan umat Muslim di Indonesia. Setiap kali Ramadan mencapai penghujungnya, gelombang kerinduan mengalir deras, memanggil para perantau untuk kembali ke pelukan keluarga di kampung halaman. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan hati—sebuah panggilan jiwa untuk pulang, bersujud di rumah masa kecil, mencium tangan orang tua, dan memeluk kenangan yang menyimpan makna kasih yang tak terhingga.

Dalam budaya masyarakat Indonesia yang sarat nilai kekeluargaan dan spiritualitas, mudik adalah cerminan dari ajaran Islam tentang silaturahmi dan bakti kepada orang tua. Rasulullah SAW menekankan pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan sebagai jalan panjang menuju keberkahan. Maka, setiap langkah menuju kampung halaman seolah menjadi laku ibadah—mendekatkan diri pada orang tua, sesama, dan tentu saja, kepada Allah SWT.

Lebaran bukan hanya tentang baju baru dan hidangan khas, tetapi juga tentang merayakan keberhasilan menahan diri selama Ramadan. Saat takbir berkumandang dan rumah dipenuhi aroma opor serta ketupat, suasana bahagia tak bisa dibendung. Ada keharuan saat bersimpuh memohon maaf, ada kegembiraan dalam kebersamaan, dan ada ketenangan dalam saling menghalalkan khilaf. Semua itu menyatu dalam harmoni khas Idulfitri yang hangat dan membahagiakan.

Tak sedikit yang mengatakan mudik membawa rezeki, bukan sekadar materi tetapi juga batin. Para perantau sering membawa buah tangan dari kota, tapi pulang dengan oleh-oleh hati yang jauh lebih besar: nasihat bijak orang tua, doa-doa yang menyejukkan, serta energi spiritual yang memulihkan semangat hidup. Kampung halaman bukan hanya tempat lahir, tetapi juga sumber kekuatan batin dan nilai kehidupan.

Di sisi lain, mudik menciptakan denyut ekonomi yang merata. Uang yang berputar selama masa mudik menghidupkan warung, pasar, transportasi, hingga jasa lokal. Kegembiraan tak hanya dirasakan keluarga yang dituju, tetapi juga masyarakat sekitar. Semua itu membuktikan bahwa mudik bukan beban, melainkan berkah sosial yang harus terus dijaga dan dikelola dengan baik oleh semua pihak.

Meski penuh tantangan logistik, macet, dan padatnya jadwal, semangat para pemudik tidak pernah padam. Setiap penat di jalan dibayar lunas dengan senyum ayah-bunda di beranda, pelukan adik, dan gelak tawa keluarga besar. Itu sebabnya, pemerintah pun terus berupaya menghadirkan infrastruktur terbaik agar mudik menjadi perjalanan yang aman, nyaman, dan membawa kesan manis bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tradisi mudik juga memperkuat makna kebangsaan. Ia merajut rasa persaudaraan lintas daerah, mempertemukan ragam budaya dalam bingkai Islam yang damai. Dalam suasana Idulfitri, sekat sosial memudar; yang kaya, yang sederhana, yang tua, yang muda—semua saling memaafkan dan menyapa dalam cinta yang universal. Inilah kekuatan budaya Islam Indonesia: lembut, bersahaja, dan penuh harapan.

Akhirnya, mudik adalah perjalanan pulang ke fitrah. Ia menyatukan rindu, harapan, rezeki, dan cinta dalam satu harmoni yang hanya bisa dijelaskan oleh hati yang tulus. Selama semangat silaturahmi, syukur, dan doa tetap terjaga, tradisi mudik akan selalu hidup, menjadi cahaya spiritual yang menghubungkan manusia dengan asalnya—baik secara jasmani, maupun ruhani.

Yusuf Wicaksono

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie