__temp__ __location__

HARIAN NEGERI - Jakarta, Rabu (3/9/2025), Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, baru-baru ini menegaskan bahwa proses penanganan unjuk rasa atau demonstrasi tidak boleh dilakukan dengan penggunaan instrumen secara berlebihan. Pernyataan ini disampaikan Pigai dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, menyoroti pentingnya penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara.

Menurut Pigai, bahwa individu yang menyampaikan pendapat, pikiran, dan perasaan melalui demonstrasi merupakan bagian integral dari hak asasi manusia.

“Kelompok demonstran ini mencakup mahasiswa, siswa, masyarakat umum, hingga berbagai perkumpulan masyarakat yang memiliki hak untuk bersuara secara damai,” Ujar Natalius Pigai saat diwawancarai, Rabu (3/9/2025).

Oleh karena itu, Pigai menekankan bahwa penegakan hukum tidak seharusnya menggunakan pendekatan excessive use of force atau excessive use of power. Hal ini sejalan dengan upaya menjaga kebebasan berekspresi dan memastikan bahwa setiap tindakan aparat tetap berada dalam koridor hukum serta martabat kemanusiaan.

"Penanganan demo harus selalu berlandaskan pada prinsip hak asasi manusia. Ia mengingatkan bahwa para demonstran, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, sedang menjalankan hak konstitusional mereka untuk menyampaikan aspirasi," Pungkasnya.

Penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak proporsional dalam menghadapi massa demonstran dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap HAM. Pigai menggarisbawahi bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan cara yang bermartabat dan progresif, bukan dengan kekerasan.

Bahkan bagi demonstran yang ditahan, hak-hak dasar mereka harus tetap terpenuhi. Ini termasuk hak untuk beribadah, hak mendapatkan kesehatan yang baik, serta kebutuhan esensial lainnya yang wajib disediakan selama masa penahanan di kepolisian.

Pendekatan Keadilan Restoratif untuk Demonstran

Dalam konteks penanganan demo, Menteri HAM Pigai menyarankan penggunaan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) bagi demonstran yang murni menyampaikan aspirasi. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi solusi yang lebih humanis dan adil.

Keadilan restoratif berfokus pada pemulihan hubungan dan penyelesaian konflik tanpa harus selalu melalui jalur pidana formal. Ini berarti mencari jalan keluar yang mengedepankan dialog, mediasi, dan pemulihan, bukan semata-mata penghukuman.

Namun, Pigai juga menegaskan bahwa bagi demonstran yang terbukti melanggar atau menentang hukum, penegakan hukum harus tetap berjalan secara profesional. Proses ini harus sepenuhnya berbasis pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tanpa pandang bulu.

Sikap Polri dalam Mengawal Aspirasi Publik

Senada dengan Menteri HAM, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo juga telah memberikan arahan terkait penanganan demo. Kapolri mengingatkan seluruh personelnya untuk mengawal penyampaian aspirasi masyarakat sesuai standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.

Arahan ini disampaikan Kapolri saat makan malam bersama 320 personel pasukan pengamanan dari unsur TNI dan Polri di depan Gedung DPR/MPR RI. Ia menekankan pentingnya menghormati aturan dan hukum, menjaga kebebasan umum, serta nilai-nilai yang ada.

Kapolri juga menambahkan bahwa personel harus tetap menjaga semangat persatuan dan kesatuan masyarakat selama proses pengamanan. Apabila terjadi pelanggaran dalam penyampaian pendapat, kepolisian memiliki wewenang untuk mengingatkan sesuai aturan yang berlaku.

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie