Oleh: Alya Fortuna Rismen
Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) No. 34 Tahun 2004 bukan sekadar perubahan regulasi, tetapi pelanggaran prinsip reformasi 1998 yang berusaha memisahkan militer dari politik. Kebijakan memberikan peluang perwira aktif menduduki jabatan sipil ibarat membuka pintu belakang bagi militer untuk kembali merajalela dalam pemerintahan.
Ini bukan sekadar kemunduran, melainkan upaya sistematis menghidupkan kembali bayang-bayang Orde Baru yang selama ini berusaha dikubur oleh reformasi 1998. Reformasi 1998 tegas menempatkan supremasi sipil di atas militer, sebuah prinsip yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28D yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi seluruh warga negara.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara, keterlibatan militer dalam birokrasi bertentangan dengan prinsip civilian supremacy yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia.
Revisi UU TNI ini mencakup perubahan pada tiga pasal utama, yakni Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53. Ironisnya, revisi Pasal 47 Ayat (2) UU TNI memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, dari sebelumnya 10 menjadi 16 kementerian atau lembaga, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), sebuah langkah yang jelas mengikis prinsip tersebut.
Ini bukan sekadar bantu-bantu pemerintahan, kebijakan ini justru berpotensi mengulang pola dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang pernah menjadi ciri Orde Baru, meskipun dengan mekanisme yang berbeda
Bahaya kebijakan ini bukan sekadar teori. Faktanya, sebelum revisi ini disahkan, sudah ada 2.500 prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil. Nama-nama seperti Letkol Inf Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet, Mayjen TNI Maryono sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, dan Mayjen TNI Irham Waroihan sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian adalah bukti bahwa militerisasi birokrasi bukan lagi sekadar kekhawatiran, tapi sudah terjadi di depan mata. Sejarah mengajarkan, ketika militer terlalu dalam masuk ke birokrasi, hasilnya adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selama 2014-2025, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 8 kasus korupsi yang melibatkan 15 perwira militer, baik aktif maupun purnawirawan, dengan total kerugian negara mencapai Rp24,76 triliun. Praktik serupa juga terjadi di masa Orde Baru. Kasus korupsi Pertamina di bawah kepemimpinan Jenderal Ibnu Sutowo pada 1970-an hampir membuat perusahaan bangkrut, yang semakin menegaskan bahwa dominasi militer dalam birokrasi bisa berujung pada pengelolaan yang korupsi dan tidak transparan.
Selain itu, revisi ini juga mengancam kebebasan berpendapat dan oposisi dibungkam. Pada 1997-1998, mahasiswa dan aktivis yang vokal menentang pemerintahan Soeharto diculik dan dihilangkan tanpa jejak oleh aparat. Hari ini, ancaman serupa mulai terasa lagi. Pada 19 Maret 2025, kantor Tempo mendapat paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada wartawan Francisca Christy Rosana.
Beberapa hari kemudian, bangkai tikus dengan kepala terpenggal dikirim ke kantor yang sama. Teror semacam ini mengingatkan pada pola intimidasi di masa lalu, di mana kritik terhadap kekuasaan bisa berujung ancaman bahkan kekerasan.
Tak hanya itu, revisi ini justru merusak institusi militer itu sendiri. TNI harusnya fokus menjaga pertahanan negara, bukan sibuk mengurus kementerian dan birokrasi. Negara demokratis seperti Korea Selatan pascareformasi 1987, mereka tegas mengembalikan militer ke barak dan berhasil membangun demokrasi yang stabil. Ironisnya, ketika dunia bergerak ke arah pemisahan tegas antara militer dan pemerintahan, Indonesia malah memberi panggung lebih besar bagi militer untuk bermain dalam politik dan pemerintahan.
Reformasi 1998 punya satu tujuan besar, yakni menjauhkan militer dari pemerintahan sipil agar demokrasi bisa berjalan sehat. Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 mengatur tentang kedudukan dan fungsi TNI dalam sistem pertahanan negara, Pasal ini menegaskan bahwa TNI hanya bertugas di bidang pertahanan dan tidak boleh terlibat dalam politik. Namun, dengan adanya revisi ini, batas itu menjadi kabur dan kita semakin dekat dengan kembalinya rezim yang lebih otoriter.
Oleh karena itu, langkah hukum harus diambil, dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Ini bukan hanya pilihan, melainkan keharusan untuk mengembalikan UU TNI pada koridor konstitusional. Mahkamah Konstitusi pernah membuktikan independensinya dengan membatalkan UU Komisi Pemberantas korupsi (KPK) pada tahun 2021 karena inkonstitusional. Kini, saatnya lembaga yang sama menguji revisi UU TNI ini.
Judicial review bukan sekadar prosedur hukum, melainkan benteng terakhir untuk menyelamatkan demokrasi dari bahaya militerisasi birokrasi. Jika revisi ini dibiarkan, jangan heran jika suatu hari kita bangun di Indonesia yang demokrasi hanyalah ilusi, dan kekuasaan sepenuhnya kembali berada di tangan militer, persis seperti masa lalu yang ingin kita hindari.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami