Oleh: Muhammad Hibatullah Raiful
Pidato Presiden Prabowo Subianto di forum Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (KTT PBB) pada 23 September 2025 menjadi sorotan publik internasional sekaligus mengguncang perdebatan di dalam negeri.
Di hadapan para pemimpin dunia, Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia akan mengakui Israel jika, dan hanya jika, Israel terlebih dahulu mengakui Negara Palestina. Kalimat itu, bagi sebagian orang, terdengar sebagai bentuk diplomasi baru yang berani dan rasional sebuah upaya keluar dari kebuntuan panjang konflik Timur Tengah. Namun bagi sebagian lainnya, pernyataan itu seperti nada sumbang di tengah sejarah panjang dukungan Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Sejak awal berdirinya republik ini, posisi Indonesia terhadap Palestina tidak pernah sekadar urusan politik luar negeri. Ia adalah cerminan dari identitas konstitusional. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tertulis jelas bahwa “ Bahwa Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Kalimat itu bukan sekadar slogan moral, melainkan prinsip dasar yang membentuk arah diplomasi kita. Indonesia menolak segala bentuk kolonialisme, termasuk penjajahan Israel atas tanah Palestina. Maka ketika Prabowo berbicara tentang pengakuan bersyarat, publik wajar merasa bimbang, apakah ini sinyal kedewasaan diplomasi, atau awal dari pergeseran prinsip yang selama ini kita junjung tinggi?
Secara strategis, gagasan Prabowo bisa dipahami. Ia berusaha menempatkan Indonesia bukan sebagai penonton pasif, melainkan aktor yang mendorong dialog di tengah kebuntuan panjang. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Indonesia bebas menentukan sikapnya, namun tetap berkewajiban aktif memperjuangkan perdamaian dunia dan keadilan sosial. Namun diplomasi bukan sekadar soal niat.
Dunia bergerak dengan kepentingan dan kekuasaan, bukan moralitas. Selama Amerika Serikat masih menjadi tameng Israel di Dewan Keamanan PBB, dan selama hukum humaniter internasional terus diabaikan di Gaza, maka “pengakuan bersyarat” hanya terdengar ideal di atas podium bukan di lapangan.
Realitasnya, situasi di Gaza jauh dari kata damai. Menurut laporan Kementerian Kesehatan Palestina, hingga Agustus 2025 lebih dari 62.000 warga sipil tewas dan lebih dari 138.000 luka-luka sejak agresi Israel berlanjut pada 2023. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Ini bukan lagi soal politik atau diplomasi, tapi tragedi kemanusiaan. Di tengah angka kematian itu, wacana pengakuan Israel, betapapun “bersyarat”, terasa ironis. Indonesia, yang selama puluhan tahun berdiri di garis moral menentang penjajahan, kini justru berada di ambang dilema antara menjaga idealisme atau menyesuaikan diri dengan realpolitik dunia.
Di sinilah dilema Prabowo tampak paling kentara. Ia berusaha menjaga komitmen konstitusional Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, namun di sisi lain ingin menunjukkan kedewasaan diplomatik di panggung global. Langkah seperti ini berisiko disalahartikan. Di dalam negeri, publik bisa melihatnya sebagai bentuk kompromi terhadap penjajahan. Di dunia internasional, ia bisa dianggap hanya sebagai simbol politik tanpa daya tawar nyata.
Sebab mari jujur, sekalipun disertai syarat seadil itu, pengakuan terhadap Israel akan mengguncang fondasi moral politik luar negeri Indonesia yang telah tegak selama lebih dari tujuh dekade. Prabowo mungkin ingin membawa “angin baru” dalam diplomasi, tetapi angin itu berhembus di medan geopolitik yang keras.
Selama hukum humaniter internasional masih dilanggar di Gaza, selama hak untuk menentukan nasib sendiri sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 Piagam PBB masih diabaikan, maka setiap pengakuan diplomatik akan terasa hampa di hadapan luka kemanusiaan yang belum sembuh.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami