Oleh: Alya Fortuna Rismen
Di tengah berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia, muncul perdebatan soal apakah hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu daerah harus dibuka seluas-luasnya, atau justru dibatasi dengan mempertimbangkan keterikatan seseorang dengan daerah tersebut.
Gagasan tentang eksklusivitas daerah dalam demokrasi elektoral mengusulkan bahwa hanya mereka yang memiliki keterkaitan historis, kultural, atau administratif dengan suatu wilayah yang layak menjadi pemilih atau calon pemimpin di wilayah itu. Pandangan ini sering kali dituding membatasi hak politik, padahal justru hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas demokrasi lokal agar tidak direduksi hanya sebagai angka-angka pemilu.
Dalam konteks otonomi daerah yang kita anut pasca-reformasi, pendekatan ini patut dilihat sebagai upaya memperkuat akar demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi yang hidup seharusnya tumbuh dari pemahaman dan partisipasi masyarakat terhadap persoalan nyata di sekitarnya bukan sekadar kontestasi popularitas antar elite yang tak kenal daerahnya.
Secara konstitusional, memang benar bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Namun, penting untuk membaca pasal ini dalam konteks keseluruhan sistem ketatanegaraan kita, termasuk Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan pengakuan terhadap keberadaan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Ini menunjukkan bahwa negara membuka ruang untuk kebijakan afirmatif bagi daerah, termasuk dalam urusan elektoral.
Jadi, ketika ada syarat keterikatan budaya, tempat tinggal, atau keterlibatan dalam komunitas setempat bagi calon kepala daerah, itu bukan bentuk pelanggaran, melainkan perwujudan prinsip keadilan substansial. Demokrasi sejati tidak bisa hanya prosedural, ia harus kontekstual dan relevan dengan masyarakat yang akan memilih.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam praktiknya, banyak pemimpin dari luar daerah yang gagal membangun kedekatan dan kepercayaan dengan warganya. Di Papua, misalnya, calon kepala daerah yang tak berasal dari suku setempat kerap mengalami penolakan, bahkan ketegangan sosial, karena dianggap tidak mewakili nilai dan aspirasi masyarakat adat. Begitu juga di Kalimantan dan Sumatera bagian barat, masyarakat lebih percaya pada figur yang tumbuh dan hidup di antara mereka daripada pendatang politik.
Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri tahun 2020, 68% kepala daerah yang berasal dari luar komunitas lokal mengalami hambatan dalam komunikasi dan perumusan kebijakan berbasis kebutuhan warga. Fakta ini menunjukkan bahwa keterikatan daerah berperan penting dalam efektivitas pemerintahan dan keberhasilan pembangunan.
Kritik yang menyebut bahwa eksklusivitas daerah bersifat diskriminatif sebaiknya dilihat dari perspektif keadilan, bukan kesetaraan mutlak. Tidak semua pembatasan adalah bentuk diskriminasi negatif. Dalam hukum Hak Asasi Manusia internasional, dikenal prinsip affirmative action langkah khusus yang ditempuh untuk memperbaiki ketimpangan struktural.
Eksklusivitas daerah justru menjadi bagian dari strategi afirmatif untuk menjamin bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar memahami daerah yang dipimpinnya. Ini tidak berarti orang luar tidak boleh berkontribusi, tetapi bentuk kontribusi itu tidak selalu harus dalam posisi politik elektoral.
Demokrasi elektoral yang sehat tidak hanya menekankan jumlah suara, tapi juga kualitas representasi. Dengan mendukung eksklusivitas daerah dalam hak pilih dan dipilih, kita tidak sedang membatasi demokrasi, melainkan memperdalamnya. Negara sebesar Indonesia, dengan keragaman budaya dan identitas lokalnya, memerlukan pendekatan demokrasi yang adaptif dan berpihak pada keunikan daerah masing-masing.
Oleh karena itu, pembatasan bersyarat berbasis keterikatan daerah harus dilihat sebagai bentuk perlindungan terhadap kedaulatan lokal, sebuah langkah yang justru memperkuat demokrasi dari bawah, bukan melemahkannya.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami