__temp__ __location__

Oleh: Putri Samual

Dalam salah satu kasus kenakalan remaja yang berujung pada kekerasan, sebuah ironi besar muncul di tubuh institusi kepolisian. Sekelompok bintara polisi yang tergabung dalam tim perintis melakukan penyiksaan terhadap sejumlah anak muda yang terlibat tawuran: dipukul, ditendang, dilindas dengan motor, dan disiram air panas. Semua bentuk penyiksaan itu mereka bungkus dengan satu istilah—“olah-olah.”

Kekerasan itu bukan hanya melukai tubuh para remaja, tapi juga merobek rasa keadilan dan rasa aman yang seharusnya dilindungi oleh seragam itu sendiri.

Ketika saya menyampaikan keprihatinan dan keberatan atas tindakan tersebut kepada seorang perwira polisi, respons yang saya terima justru lebih memilukan daripada kejadian itu sendiri. Sang perwira berkata dengan nada penuh pembelaan: 

“Kami berbeda dengan mereka”

Kalimat itu sederhana, tapi penuh makna busuk.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa bahkan di dalam institusi yang semestinya solid dan hierarkis seperti kepolisian, ada sekat-sekat sosial yang melemahkan tanggung jawab kolektif. Bintara dan perwira berada dalam satu institusi, satu kesatuan. Jika ada yang salah pada bintara, maka kesalahan itu juga menjadi cerminan kegagalan perwira dalam membina, membimbing, dan mengawasi.

Namun, alih-alih merefleksi dan bertanggung jawab secara institusional, kalangan perwira justru memilih menjauhkan diri dari "kelas bawah" mereka, menjadikannya kambing hitam dalam lingkaran kekuasaan kecil bernama kepolisian.

Apakah ini wajah baru dari kultur cuci tangan? Atau sebenarnya, ini bukan hal baru—hanya saja kita baru mulai berani menamainya?

Memburu Musuh Luar, Menutup Mata pada Musuh Dalam

Perwira sering membanggakan diri mereka atas keberhasilan dalam menangkap gembong narkoba, pelaku terorisme, dan penjahat kelas kakap. Tapi di tengah tepuk tangan itu, mereka lupa satu hal mendasar: musuh utama POLRI hari ini adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mereka.

Apa gunanya memburu para penjahat besar bila dalam praktiknya, mereka tak mampu menjamin keadilan bagi korban yang kecil?

Apa artinya operasi berskala nasional, bila di jalanan kota, anak-anak muda bisa diperlakukan seperti hewan oleh mereka yang mengaku penegak hukum?

Kepolisian yang kehilangan kepercayaan publik, ibarat rumah yang api membakarnya dari dalam secara diam-diam, lambat, tapi pasti.

Saatnya Polri Bertanya: Siapa yang Sebenarnya Berbeda?

Kalau perwira merasa berbeda dengan bintara, maka sudah seharusnya mereka menunjukkan perbedaan itu dalam hal moralitas, keteladanan, dan integritas—bukan dalam bentuk pengelakan tanggung jawab dan pengunggulan status struktural semata. Tapi kenyataannya, yang tampak justru sebaliknya: mereka berdiri di menara gading sembari membiarkan kekerasan, penyiksaan, dan tindakan nir-moral dilakukan oleh anak buah mereka tanpa koreksi yang tegas.

Lalu pertanyaannya: kenapa bisa tindakan sebrutal itu terjadi di bawah pengawasan perwira?

Apakah ini karena ketidaktahuan? Ataukah karena sebenarnya, kekerasan tersebut dianggap sebagai bagian dari pembiaran sistemik—sebuah ruang gelap yang disediakan agar bintara bisa "menyelesaikan" masalah dengan cara jalanan, agar perwira tak perlu repot menanggung beban prosedural dan administratif?

Jika demikian adanya, maka bukan hanya bintara yang bersalah, tetapi juga sistem yang membiarkan mereka bertindak tanpa batas.

Sebagai seorang perwira seharusnya paham bahwa kekuatan sejati perwira bukan terletak pada senjata atau pangkat, tapi pada keberanian untuk melindungi yang lemah dan mengakui kesalahan sendiri.

Maka, seharusnya menjadi seorang perwira bukan soal seberapa banyak lencana di pundak, tapi seberapa besar keberanian untuk mengatakan: “Ini salah. Ini harus dihentikan.”

Sungguh menyedihkan ketika status sebagai perwira justru dijadikan tameng kehormatan yang rapuh—dipakai untuk menjaga citra, bukan untuk melindungi rakyat. Dalam dunia di mana kepercayaan publik terus merosot, justru para perwira yang seharusnya menjadi benteng terakhir integritas. Tapi jika benteng itu mulai retak dari dalam, apa lagi yang bisa kita harapkan?

Jangan banggakan status perwiramu kalau keberadaanmu tak membawa perubahan. Jangan anggap pangkatmu sakral jika tak pernah digunakan untuk menghentikan ketidakadilan.

Jika Polri sungguh ingin keluar dari krisis kepercayaan masyarakat, maka langkah pertama bukanlah memburu teroris atau bandar narkoba. Tapi memulihkan moralitas di dalam markas mereka sendiri.

Jangan banggakan pangkat, kalau jabatan itu hanya membuatmu makin jauh dari rakyat. Jangan benci kritik, karena suara rakyat hari ini adalah sisa-sisa harapan yang belum mati.

Seperti yang pernah dikatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo: “Polri harus hadir dengan wajah humanis, bukan menjadi sumber ketakutan.” Tapi wajah humanis tak akan hadir selama sistem membiarkan arogansi tumbuh dari atas.

Agung Gumelar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie