HARIAN NEGERI - Bitung, Catatan Kritis Fahrudin Hamzah: Revolusi AI , Apakah Manusia Masih Diperlukan, Demisioner Ketua Bidang Teknologi dan Informasi PP IPM Periode 2021-2023, Koordinator Nasional Jaringan Intelektual Muda Sulawesi Utara (KoorNas-JIMSU) dan Tim Digital Fundraising MDMC PP Muhammadiyah.
Sebagai seorang yang antusias terhadap dunia teknologi, saya kerap merenungkan sejauh mana kecerdasan buatan (AI) akan berkembang dan memengaruhi kehidupan manusia. Berbagai perkembangan terkini, riset, serta diskusi dengan rekan-rekan membuka pandangan saya bahwa AI adalah inovasi luar biasa. Namun, di balik potensinya yang besar, teknologi ini juga menghadirkan tantangan dan juga resiko yang tidak boleh diabaikan.
Ilmuwan dunia seperti Dr. Geoffrey Hinton telah menciptakan algoritma yang memungkinkan AI belajar dan berkembang dengan kecepatan serta akurasi tinggi. Hinton sendiri pernah menyuarakan kekhawatirannya bahwa suatu hari AI mungkin melampaui kemampuan manusia. Sebagai seseorang yang senang menggali lebih dalam tentang teknologi, saya pun bertanya-tanya, mungkinkah AI benar-benar menggantikan manusia?
Ketika AI Menantang Dunia Seni
Pada tahun 2018, dunia seni mengalami kejutan besar ketika sebuah lukisan berjudul Portrait of Edmond de Belamy terjual seharga 432.500 dolar AS di rumah lelang Christie’s. Yang membuat karya ini luar biasa adalah kenyataan bahwa ia bukanlah hasil goresan tangan manusia, melainkan ciptaan AI yang dikembangkan oleh tim Obvious dari Prancis. Dengan memanfaatkan Algoritma Generative Adversarial Network (GAN), AI mempelajari ribuan karya seni klasik dan menciptakan karyanya sendiri.
Melihat fenomena ini, saya merasa takjub sekaligus skeptis. Karena seni bukan hanya soal teknik, tetapi juga ekspresi emosi dan pengalaman hidup manusia. AI mungkin mampu meniru pola visual dari karya-karya maestro seperti Picasso atau Van Gogh, tetapi bisakah ia memahami makna mendalam yang lahir dari penderitaan, cinta, dan perjalanan hidup seniman? Meski AI bisa menghasilkan karya yang memukau secara estetika, namun esensi seni sebagai cerminan jiwa manusia tetaplah sesuatu yang unik dan tak tergantikan.
AI di Dunia Kerja: Mengancam atau Membantu?
Pengaruh AI tidak hanya terasa di dunia seni, tetapi juga merambah berbagai sektor pekerjaan. Di sektor keuangan, bank dan perusahaan investasi memanfaatkan AI untuk menganalisis pasar dan membuat keputusan dengan kecepatan tinggi. Di rumah sakit, teknologi seperti IBM Watson membantu dokter mendiagnosis penyakit dengan akurasi yang tinggi. Bahkan dalam bidang hukum, AI digunakan untuk meneliti ribuan dokumen hukum, mempercepat analisis kasus yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan.
Namun, saya menyadari bahwa ada ranah-ranah tertentu yang belum bisa sepenuhnya digantikan oleh AI. Profesi yang memerlukan empati, intuisi, dan kreativitas tetap menjadi keunggulan manusia. Seorang guru misalnya, tidak hanya bertugas mengajar akan tetapi juga membimbing, menginspirasi, dan membentuk karakter siswa. Seorang terapis tidak hanya mendengar kata-kata pasien, tetapi juga memahami ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan emosi yang tersirat, hal-hal yang sulit dipahami oleh mesin.
Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa kehadiran AI memunculkan kekhawatiran tentang masa depan dunia kerja. Banyak perusahaan mulai menggantikan pekerja manusia dengan robot dan AI demi efisiensi dan produktivitas. Pertanyaannya, apakah masa depan pekerjaan benar-benar akan didominasi oleh mesin? Ataukah manusia masih memiliki peran yang tak tergantikan?
Masa Depan: Bukan Persaingan, Melainkan Kolaborasi
Kepercayaan saya bahwa masa depan bukanlah tentang persaingan antara manusia dan AI, melainkan kolaborasi di antara keduanya. AI dapat menangani tugas-tugas teknis yang membutuhkan kecepatan dan presisi, sementara manusia tetap menjadi pusat kreativitas, empati, dan visi yang menggerakkan dunia ke depan.
Kecerdasan buatan tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman yang menggeser peran manusia. Sebaliknya, AI adalah alat yang dapat mendukung manusia untuk bekerja lebih efisien, memecahkan masalah kompleks, dan menciptakan inovasi baru. Kuncinya terletak pada kemampuan kita untuk beradaptasi, memahami teknologi ini dengan bijak, dan memanfaatkannya demi kebaikan bersama.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, saya tetap yakin bahwa kecerdasan manusia, dengan segala kompleksitasnya, akan selalu memiliki tempat yang tak tergantikan dalam peradaban ini. Sebab, pada akhirnya, AI hanyalah refleksi dari pemikiran manusia, penciptaan yang lahir dari keinginan untuk melampaui batas.
Namun, esensi kemanusiaan terletak pada kemampuan kita untuk merasakan, memimpikan, dan memberi makna pada hidup. Inilah keunikan yang tidak akan pernah bisa ditiru oleh algoritma atau mesin secanggih apa pun. Masa depan bukanlah tentang siapa yang lebih unggul, melainkan tentang bagaimana manusia dan AI dapat saling melengkapi untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami