__temp__ __location__

HARIAN NEGERI, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun menegaskan bahwa penyelidikan harus tetap diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, ia menekankan pentingnya pembedaan yang tegas antara penyelidikan dan penyidikan untuk mencegah tumpang tindih kewenangan.

Sebagai mantan perwira Polri, Adang menyatakan, "Penyelidikan tetap diperlukan, tetapi harus ada batasan yang jelas untuk membedakannya dari penyidikan." Pernyataan ini disampaikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip dalam laman Antara News, Kamis (20/6).

Menurut Adang, penyelidikan bersifat teknis dan lebih mengarah pada pengumpulan data awal, sementara penyidikan melibatkan aspek yang lebih serius seperti hak asasi manusia (HAM), pengumpulan bukti, dan penetapan tersangka. "Aturan ini harus tercantum dalam KUHAP, bukan di peraturan lembaga masing-masing, agar ada standar yang seragam," tegasnya.

Sebelumnya, pakar hukum pidana Dr. Chairul Huda mengusulkan agar penyidikan tidak perlu diatur dalam KUHAP karena setiap jenis tindak pidana memiliki karakteristik teknis yang berbeda. Chairul mencontohkan redundansi dalam proses hukum, di mana tahap penyelidikan dan penyidikan seringkali mengulang langkah yang sama dengan nama berbeda.

"Ini tidak efisien. Lebih baik penyidikan diatur dalam peraturan lembaga, seperti Peraturan Kepolisian (Perpol) bagi Polri, agar lebih luwes mengikuti perkembangan modus kejahatan," ujarnya dalam rapat dengan Komisi III DPR.

Chairul juga mengusulkan agar definisi penyidikan dalam RUU KUHAP dibuat lebih netral untuk mencegah kesewenang-wenangan. "Penyidikan tidak harus selalu berujung pada penetapan tersangka. Jika tidak ditemukan unsur pidana, proses bisa dihentikan," jelasnya.

Polemik ini memunculkan dua pandangan utama: pertama, pendukung regulasi terpusat seperti Adang yang menginginkan penyidikan dan penyelidikan diatur dalam KUHAP untuk menjaga konsistensi; kedua, pendukung fleksibilitas seperti Chairul yang mengusulkan aturan diserahkan kepada masing-masing lembaga agar lebih adaptif.

Dampaknya, jika diatur dalam KUHAP, proses hukum akan lebih terstandarisasi tetapi kurang fleksibel. Sebaliknya, jika diatur oleh lembaga, proses bisa lebih dinamis namun berisiko menciptakan ketidakseragaman.

Komisi III DPR akan terus membahas hal ini sebelum finalisasi RUU KUHAP. Hasilnya nanti akan memengaruhi efisiensi dan konsistensi penegakan hukum di Indonesia.

Tags:
Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie