Oleh: Wasila Ghina Ayyasy
Salah satu isu paling hangat setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) adalah penegasan bahwa kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak secara otomatis dapat dikatakan sebagai kerugian negara. Hal ini sejatinya adalah langkah luar biasa yang telah lama dinantikan oleh para pihak-pihak yang terlibat atau penggerak BUMN.
Namun, seperti biasa perubahan besar dalam kebijakan hukum publik selalu menghadirkan kontroversial dan perdebatan yang panjang. Padahal seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai hal ini. Secara normatif dalam UU BUMN telah dibangun tembok pembatas yang jelas dan kokoh terkait pemisahan antara tanggung jawab keuangan negara dan BUMN.
Dalam Pasal 1 angka 9a UU BUMN telah disebutkan bahwa: “Kerugian BUMN yang berbadan hukum perseroan terbatas tidak termasuk dalam pengertian kerugian negara.” Maka klausul ini telah mematahkan asumsi lama yang dibentuk oleh praktik penyidik dan auditor di masa lalu, dimana setiap kerugian di tubuh BUMN otomatis merupakan kerugian negara.
Ketika kita berkaca pada teori hukum perusahaan dan prinsip entitas terpisah (separate legal entity) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perseroan itu merupakan subjek hukum yang statusnya berdiri sendiri. Artinya, BUMN yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) bukan lagi bagian langsung dari negara, melainkan entitas bisnis yang tunduk pada hukum privat.
Teori ini juga sejalan dengan pendapat Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law, bahwa negara dan badan hukum lain memiliki kedudukan hukum berbeda, dan hanya dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan norma yang mengaturnya.
Maka dari itu, sejatinya memasukkan kerugian BUMN ke dalam kategori kerugian negara adalah tindakan yang tidak tepat secara teori maupun praktik hukum.
Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi pun telah memberikan ibarat rambu lalu lintas melalui Putusan MK No. 48/PUndang-Undang-XI/2013 yang menegaskan bahwa BUMN (terutama yang berbentuk Persero) tidak secara otomatis sebagai bagian dari keuangan negara karena telah terjadi pemisahan kekayaan. Ketika kekayaan negara telah disetorkan sebagai modal ke BUMN, maka statusnya berubah menjadi kekayaan perusahaan dan tidak lagi dikelola berdasarkan mekanisme APBN.
UU BUMN hadir sebagai tangan yang bergerak untuk merapikan benang kusut ini. Meskipun negara sebagai pemegang saham, kita tidak bisa serta-merta menarik garis pidana atas kerugian bisnis yang dilakukan direksi BUMN. Jikalau pun manajemen BUMN salah mengambil keputusan dan menyebabkan kerugian, masih ada mekanisme lain seperti RUPS, tindakan komisaris, audit internal, atau bahkan gugatan perdata sebagai opsi terakhirnya.
Hal yang harus kita pahami adalah tidak semua kegagalan bisnis itu harus dipenjara. Direksi BUMN sang pembuat keputusan bukanlah seorang peramal yang melulu tahu apa yang akan terjadi di depan Jika kita tetap memaksakan pendekatan pidana korupsi terhadap kerugian BUMN, ini tentu akan berpotensi menimbulkan kriminalisasi berlebihan.
Dalam hal ini direksi menjadi risk averter yakni ragu untuk mengambil risiko bisnis, karena takut dikriminalisasi jika keputusan bisnisnya merugi. Sebagai contoh, direksi Pertamina kini enggan mengambil resiko dikarenakan takut bernasib sama dengan eks dirutnya yang dijerat penjara akibat dituding membuat keputusan yang merugikan negara sebesar 2,1 Triliun. Dampaknya sekarang lifting minyak hanya sebesar 606.000 barel per hari yang sebelumnya bahkan menyentuh angka 1,4 barel per hari.
Dalam jangka panjang, persoalan semacam itu mengakibatkan stagnansi dalam pengembangan bisnis BUMN yang berujung mematikan iklim bisnis BUMN. Padahal BUMN dituntut untuk bersaing di pasar global, namun inovasi dan ekspansinya harus terhalang ancaman kriminalisasi.
Sesungguhnya terdapat gap antara konsep hukum pidana keuangan negara dengan praktik tata kelola korporasi ini. Penyamarataan antara kerugian BUMN dan kerugian negara bukan hanya salah kaprah, tetapi juga membahayakan prinsip corporate governance. Maka dari itu, pembaruan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 menjadi sangat relevan dan perlu diapresiasi sebagai bentuk reformasi hukum ekonomi.
Reformasi hukum ini tentu bukan tanpa resiko, sehingga pemerintah dan aparat penegak hukum sebaiknya menyiapkan mekanisme baru untuk memastikan bahwa kerugian di tubuh BUMN tetap dapat terjamin diawasi, meski tidak masuk dalam kategori kerugian negara. Beberapa diantaranya bisa melalui mekanisme audit independen dimana pemerintah menentukan auditor kompeten dengan independensi tinggi untuk menganalisis laporan keuangan dengan profesional.
Kemudian, bisa melalui penguatan peran komisaris BUMN, yakni meningkatkan frekuensi dan kualitas rapat komisaris agar lebih pro aktif dan mendeteksi sedini mungkin calon kerugian bisnis serta melalui optimalisasi lembaga pengawas eksternal seperti BPK yang tidak hanya sebatas audit keuangan namun juga audit kinerja direksi demi meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan BUMN terhadap peraturan.
Dengan demikian, pada akhirnya penegasan bahwa “kerugian BUMN bukanlah kerugian negara” tidak akan lagi dilihat sebagai upaya pelepasan tanggung jawab, tetapi sebagai pengakuan terhadap prinsip dasar hukum korporasi dan pemisahan kekuasaan dalam sistem keuangan negara.
Sebuah langkah maju yang apabila dikawal dengan baik, akan memberikan kepastian hukum serta mendorong BUMN untuk lebih lincah dan kompetitif tanpa kehilangan akuntabilitasnya.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami