__temp__ __location__

Oleh: Nilna Sifaana

Di ranah umat Islam kontemporer, isu pemberdayaan perempuan masih sering dibenturkan dengan dinding tafsir yang dibangun oleh tangan-tangan patriarki. Ayat-ayat suci, yang sejatinya mengandung rahmat dan keadilan, kerap kali disempitkan maknanya oleh pemahaman yang bias gender. Sumber masalah bukan terletak pada wahyu yang diturunkan, melainkan pada cara membacanya, pada lensa yang keruh oleh tradisi maskulinitas dan kekuasaan jender yang telah berurat akar dalam budaya dan sejarah.

A. Tafsir dan Kekuasaan: Membaca Ulang yang Diam-diam Menindas

Di titik inilah kita perlu membedakan antara wahyu sebagai kebenaran transenden dan tafsir sebagai produk manusia yang tak pernah lepas dari ruang dan waktu. Tafsir yang bersifat misoginis sering kali berangkat dari pembacaan literal yang tercerabut dari konteks historis. Ayat “Ar-rijālu qawwāmūna ‘ala an-nisā’” (QS. An-Nisa \[4]:34) adalah contoh nyata: sebagian penafsir menggunakannya untuk menjustifikasi dominasi laki-laki, padahal secara etimologis qawwam juga bermakna pelindung atau penopang, bukan penguasa absolut.

Teolog Muslim progresif, Amina Wadud, dalam Qur’an and Woman (1999), memaparkan bahwa selama berabad-abad, teks suci telah didekati dari perspektif laki-laki, yang cenderung menyingkirkan pengalaman perempuan. Ia menegaskan pentingnya pendekatan hermeneutika keadilan, yang mengedepankan prinsip kesetaraan dan pengalaman perempuan dalam memahami Al-Qur’an.

B. Tauhid sebagai Landasan Kesetaraan

Akar spiritual Islam, yakni tauhid, mengajarkan bahwa setiap manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, bernilai sama di hadapan Allah. Firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran \[3]:195, “Aku tidak menyia-nyiakan amal siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan”, menjadi fondasi kesetaraan spiritual dan sosial yang tidak bisa dibantah. Kesetaraan ini bukanlah tambahan dari luar, melainkan bagian intrinsik dari nilai Islam itu sendiri.

Pemikir kontemporer Asma Barlas, dalam bukunya Believing Women in Islam (2002), menyatakan bahwa jika Al-Qur’an dipercaya sebagai wahyu yang adil, maka tafsir yang menghasilkan ketidakadilan harus dikaji ulang. Ia menempuh pendekatan dekonstruktif terhadap dominasi tafsir patriarkis dan mengembalikan fokus pada misi pembebasan Al-Qur’an itu sendiri.

Langkah Pembebasan: Dari Ruang Tafsir ke Aksi Nyata

Untuk membebaskan perempuan Muslim dari kungkungan tafsir yang menindas, diperlukan langkah-langkah berikut:

1. Menghidupkan Kembali Tafsir Berkeadilan

   Melalui pendekatan maqāṣid al-sharī‘ah, tafsir dapat difokuskan pada nilai-nilai utama Islam seperti keadilan, rahmat, dan kebebasan. Tafsir yang adil bukan hanya mungkin, tapi harus diperjuangkan sebagai amanah keislaman.

2. Membangun Kesadaran Kritis dan Pendidikan Setara Gender

   Literasi keagamaan berbasis keadilan gender harus menjadi bagian dari pendidikan umat. Sebuah Islam yang ramah perempuan harus diperkenalkan sejak dini sebagai wajah sejati agama yang membawa rahmat.

3. Menempatkan Perempuan sebagai Subjek Penafsir

   Perempuan tidak boleh hanya menjadi objek dari hukum dan tafsir, melainkan juga aktor utama di dalamnya. Pemikiran Fatima Mernissi, dalam The Veil and the Male Elite (1991), mengajak kita meninjau kembali warisan keilmuan Islam yang selama ini didominasi oleh suara laki-laki.

4. Membedakan Islam sebagai Nilai dan Tradisi sebagai Warisan

   Islam sebagai ajaran normatif mengusung nilai-nilai luhur, namun sejarah umat Islam sarat dengan praktik sosial yang mewarisi budaya patriarkal. Maka, perlu pemisahan antara agama yang suci dan tafsir budaya yang tak selalu benar.

C. Membaca Islam yang Memuliakan, Bukan Membungkam

Pemberdayaan perempuan bukanlah proyek Barat atau ide sekuler yang asing, melainkan manifestasi dari ruh Islam itu sendiri, yakni penghormatan terhadap martabat manusia (karāmah insāniyah), keadilan, dan cinta. Ketika tafsir agama melukai perempuan, maka yang perlu dikoreksi bukan keyakinan kita, melainkan cara kita memahaminya.

Sebagaimana kata Amina Wadud, “Jika sebuah tafsir menjadikan perempuan tidak utuh sebagai manusia, maka bukan perempuan yang harus dibatasi, melainkan tafsir itulah yang harus diperbaiki.”

Melisa Mel

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie