Oleh: Nessa Putri Gusfar
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 sebagai perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden menandai perubahan penting dalam arsitektur tata kelola pertambangan nasional.
Regulasi ini tidak hanya memperluas subjek penerima izin usaha pertambangan (IUP), tetapi juga mengukuhkan kecenderungan sentralisasi kewenangan pada pemerintah pusat, khususnya melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Di tengah semangat keadilan dan partisipasi masyarakat yang digaungkan, reformasi ini menyisakan sejumlah persoalan mendasar, baik secara normatif maupun dalam konteks implementasi.
Dalam ketentuan sebelumnya, yakni UU No. 3 Tahun 2020, pemberian IUP terbatas pada entitas formal seperti BUMN, BUMD, koperasi, badan usaha swasta, dan badan usaha milik desa. Namun, UU No. 2 Tahun 2025 memperluas cakupan penerima IUP, termasuk kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan (ormas) serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Pemerintah berdalih bahwa langkah ini merupakan upaya pemerataan manfaat sumber daya alam, sebagai amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Penafsiran atas frasa “dikuasai oleh negara” sebagaimana dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003 menegaskan bahwa penguasaan negara mencakup fungsi regulasi, pengelolaan, pengawasan, dan pengendalian. Negara bukanlah pemilik absolut, melainkan pengelola yang wajib menjamin keberlanjutan dan keadilan dalam distribusi manfaat. Oleh karena itu, pelibatan UMKM dan ormas dalam sektor pertambangan semestinya disertai dengan instrumen penguatan kapasitas teknis, tata kelola yang partisipatif, serta sistem pengawasan yang akuntabel.
Namun demikian, permasalahan utama terletak pada masih dipertahankannya sistem sentralistik dalam hal perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum atas kegiatan pertambangan. Seluruh kewenangan tersebut berada di bawah kendali penuh pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM, sementara pemerintah daerah hanya berperan sebagai fasilitator. Ketentuan ini bertentangan secara substansial dengan prinsip otonomi daerah yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Konsekuensinya, daerah sebagai pihak yang paling dekat dengan masyarakat dan ekosistem lokal kehilangan peran strategis dalam pengambilan keputusan. Padahal, dalam praktiknya, konflik sosial, pencemaran lingkungan, dan kerusakan ekosistem akibat aktivitas pertambangan pertama kali dirasakan oleh masyarakat lokal. Ketika pemerintah daerah tidak memiliki wewenang substantif, maka respons terhadap dampak-dampak tersebut menjadi lambat, tidak efektif, dan seringkali hanya bersifat administratif.
Lebih lanjut, pemberian IUP kepada entitas seperti UMKM dan ormas keagamaan yang secara umum belum memiliki kompetensi teknis dalam pengelolaan tambang menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya kerusakan lingkungan dan risiko malpraktik eksploitasi. Tanpa sistem pelatihan dan pendampingan yang terukur, serta pengawasan ketat, kegiatan pertambangan skala kecil ini dapat menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan udara, hingga konflik horizontal di tingkat lokal. Sebuah studi lapangan menyebutkan bahwa 85% masyarakat di sekitar wilayah tambang mengalami perubahan iklim mikro, 72% mengeluhkan limbah dan sampah, dan 68% mengalami gangguan pernapasan akibat penurunan kualitas udara.
Dampak ini tidak hanya merusak keseimbangan ekologis, tetapi juga menghancurkan sumber penghidupan masyarakat seperti pertanian, perikanan, dan air bersih. Ketika kerusakan terjadi, masyarakat cenderung meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah daerah, padahal peran daerah dalam sistem baru ini nyaris tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan tindakan korektif.
Ironisnya, semangat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam justru dibingkai dalam kerangka kebijakan yang tidak partisipatif dalam aspek pengambilan keputusan. Partisipasi hanya dibuka pada level operasional, sementara kontrol substantif dimonopoli oleh pemerintah pusat. Ketimpangan ini menciptakan potensi disfungsi tata kelola, di mana masyarakat menjadi pelaku tetapi tanpa perlindungan yang memadai, dan daerah menjadi penanggung jawab sosial tanpa instrumen legal untuk bertindak.
Oleh karena itu, reorientasi tata kelola Minerba semestinya tidak berhenti pada perluasan subjek pelaku tambang, tetapi juga mencakup desentralisasi kewenangan yang proporsional. Pemerintah perlu mengevaluasi struktur pembagian kewenangan agar selaras dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945 tentang keadilan sosial, serta Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu, penguatan kapasitas teknis, pendampingan berkelanjutan, serta pembentukan lembaga pengawas independen menjadi keniscayaan.
Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 hanya akan menjadi instrumen keadilan apabila disertai dengan pembagian kewenangan yang adil, tata kelola yang transparan, serta mekanisme perlindungan lingkungan dan sosial yang kuat. Keadilan dan keberlanjutan harus menjadi pijakan utama, bukan hanya retorika dalam regulasi.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami