HARIANNEGERI,Sorong - Tingkat pengangguran di Provinsi Papua Barat Daya terus meningkat dan kini melampaui standar nasional. Kondisi ini mendorong Senator DPD RI, Paul Vinsen Mayor, menggelar diskusi publik yang membahas ketimpangan sosial, krisis ekonomi 2026, serta persoalan pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah pihak terkait, di antaranya Kepala Dinas Tenaga Kerja, ESDM dan Transmigrasi Provinsi Papua Barat Daya Suroso, S.Ip., M.H.,Kapolsek Sorong Barat, AKP Max G. Pigai, S.Sos, perwakilan MRP Provinsi Papua Barat Daya, Sekretaris PTPSP, Herry Widjasena, Anggota DPR Otsus Perwakilan Raja Ampat Robby Wanma, serta perwakilan mama-mama Papua.
Dalam penyampaiannya, Senator Paul Vinsen Mayor menegaskan bahwa Papua Barat Daya sedang menghadapi ketimpangan sosial yang semakin melebar. Ia mengingatkan bahwa memasuki tahun 2026, kondisi ini dapat memperburuk taraf hidup masyarakat.
"Yang Kaya Semakin Kaya, yang Miskin Makin Terpuruk," ujarnya, di Sekretariat Dewan Adat Papua, Kamis (20/11/2025)
Menurutnya, ketimpangan ini berpotensi meningkatkan angka kejahatan seperti pencurian, pembegalan, hingga praktik prostitusi karena desakan ekonomi. Ia menilai tingginya pengangguran juga dipicu oleh masuknya tenaga kerja dari luar tanpa pengawasan ketat.
Senator Paul menyebutkan, dari hasil survei pribadi selama enam bulan, ia menemukan adanya praktik perusahaan yang merekrut pekerja dari luar Papua dengan memanfaatkan oknum tertentu untuk mengurus dokumen identitas secara cepat.
"Pertanyaannya, bagaimana dengan tiga klaster orang Papua - OAP, peranakan Papua, dan yang lahir besar di Papua? Kalau tidak kita bicarakan dari sekarang, anak-anak kita akan jadi pengangguran, bahkan bisa terjerumus ke kriminalitas,” ungkapnya.
Ia juga menyebut banyak lulusan sarjana Papua yang kembali ke daerah tetapi harus menunggu pekerjaan dalam waktu lama karena kalah bersaing dengan SDM dari luar.
Senator Paul juga menyoroti kondisi keuangan daerah yang melemah. Ia menyebut APBD Papua Barat Daya mengalami penurunan signifikan.
"Tahun 2025 APBD Provinsi PBD Rp1,47 triliun, sekarang tahun 2026 turun menjadi Rp1,08 triliun," jelasnya.
Ia menilai tidak adanya investasi besar yang masuk membuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) stagnan.
Menurutnya, tiga sektor yang wajib menjadi prioritas menghadapi krisis 2026–2028 adalah, Pendidikan, Kesehatan, dan Lapangan kerja.
Paul juga mengingatkan bahwa krisis ekonomi global berdampak hingga ke Papua sehingga efisiensi anggaran tidak dapat dihindari.
"Investasi harus dibuka supaya ada lapangan kerja. Kalau tidak, masyarakat dalam bahaya," katanya.
Paul mendorong masyarakat kembali berkebun atau beternak sebagai strategi memenuhi kebutuhan dasar di tengah pemotongan anggaran pemerintah.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Transmigrasi Provinsi Papua Barat Daya, Suroso, S.Ip., M.H., memaparkan data statistik bahwa pengangguran di Papua Barat Daya mencapai 6,86 persen pada Agustus 2025. Angka ini berada di atas standar nasional, yakni 4,85 persen.
Meskipun pertumbuhan ekonomi Papua Barat Daya mencapai 4 persen, Suroso menilai pertumbuhan tersebut tidak merata dan tidak sepenuhnya dinikmati oleh OAP.
"Pertumbuhan ini didorong sektor konstruksi dan ekspor barang jasa. Saya menduga itu bukan ‘permainannya’ orang asli Papua," ungkapnya.
Menurutnya, tingginya pengangguran terjadi karena ketidaksesuaian antara lulusan pendidikan dan lapangan kerja yang tersedia, sementara pertumbuhan lapangan kerja stagnan.
Suroso menekankan pentingnya perbaikan kurikulum pendidikan sesuai kebutuhan industri dan minat masyarakat Papua. Ia mengusulkan pendidikan vokasi sebagai solusi realistis.
"Kalau kita butuh nelayan profesional, buat sekolah perikanan dua atau tiga tahun. Itu akademi komunitas," jelasnya.
Menurutnya, investasi yang masuk ke Papua Barat Daya juga harus padat karya agar dapat menyerap tenaga kerja lokal, bukan padat modal dan teknologi.
Terkait masuknya tenaga kerja dari luar daerah, Suroso menegaskan bahwa berdasarkan aturan baru, provinsi memiliki kewenangan memberikan rekomendasi sebelum pekerja dari luar diizinkan masuk.
"Sampai hari ini saya masih menahan permintaan masuknya tenaga kerja dari luar. Saya harus pastikan dulu berapa banyak OAP yang sudah bekerja dan posisi apa yang tidak bisa diisi oleh OAP," katanya.
Suroso juga mengingatkan bahwa sebagian besar lahan di Papua Barat Daya telah dimasuki investasi sehingga dikhawatirkan anak-anak muda Papua tidak lagi memiliki ruang bertani ketika kembali ke kampung.
"Saya menegaskan bahwa transmigrasi di Papua Barat Daya saat ini hanya transmigrasi lokal, bukan mendatangkan warga dari luar daerah," tutupnya.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami