Oleh: Syaefunnur Maszah
Fenomena menjamurnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang lebih memilih menyuarakan kepentingan partai politik, kepentingan pribadi dan keluarganya, kelompok atau faksi internal, hingga sponsor politik dan oligarki adalah gambaran buram wajah demokrasi kita hari ini. Dalam banyak kasus, publik menyaksikan betapa suara rakyat hanya menjadi jargon kampanye, yang setelah pemilu usai, dilupakan demi menjaga relasi kuasa dan jatah kekuasaan di lingkaran elite. Anggota DPR kerap lebih sibuk mempertahankan posisi strategis di parlemen atau menjalin relasi dengan pemilik modal, ketimbang berjuang untuk nasib petani, buruh, nelayan, guru honorer, atau masyarakat adat yang menjadi korban eksploitasi kebijakan.
Filsuf klasik Yunani, Plato, dalam karya terkenalnya The Republic, pernah mengingatkan bahwa negara akan rusak jika pemimpinnya lebih mencintai kekuasaan daripada kebenaran. DPR sebagai pilar utama demokrasi mestinya menjadi wadah aspirasi rakyat yang otentik, bukan corong kekuasaan segelintir elit. Ketika kekuasaan dijalankan bukan demi keadilan, melainkan demi keuntungan kelompok, maka parlemen hanya menjadi teater sandiwara demokrasi yang memanipulasi legitimasi rakyat demi memperkuat status quo.
Implikasi dari fenomena ini sungguh besar. Demokrasi kehilangan substansi dan rakyat kehilangan harapan. Ketika keputusan parlemen lebih dipengaruhi oleh sponsor dan jaringan oligarki, maka regulasi yang lahir akan condong melayani kepentingan investor dan korporasi besar, bukan rakyat kecil. Rakyat menjadi objek pembangunan, bukan subjek. Mereka hanya diingat saat pemilu, lalu dilupakan saat undang-undang dibahas dan disahkan. Demokrasi pun bergeser menjadi demokrasi prosedural yang kosong dari nilai-nilai kerakyatan.
Dari kondisi ini, kita bisa menarik pelajaran penting: demokrasi tanpa keterwakilan yang autentik akan melahirkan ketimpangan dan ketidakpercayaan publik. Dalam teori representasi modern yang dikemukakan oleh Hanna Pitkin, keterwakilan sejati bukan sekadar hadir secara fisik di ruang parlemen, melainkan benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan rakyat dalam pengambilan keputusan. Perwakilan yang sejati bukan menjadi juru bicara elite, melainkan penyambung lidah rakyat dalam sistem kekuasaan.
Praktik positif sebenarnya dapat kita lihat di berbagai negara maju yang telah menempatkan parlemen sebagai institusi yang kredibel dan berpihak pada rakyat. Di Finlandia, misalnya, anggota parlemen diwajibkan untuk melaporkan secara berkala interaksi mereka dengan kelompok kepentingan dan menerima sanksi etik jika terbukti melakukan lobi ilegal. Sementara di Selandia Baru, banyak anggota parlemen yang tetap hidup sederhana, transparan dalam pengelolaan dana publik, dan terlibat aktif dalam forum-forum warga untuk mendengar langsung aspirasi konstituennya.
Meski demikian, bukan berarti DPR Indonesia sepenuhnya kehilangan harapan. Di antara gelombang kritik dan apatisme, masih ada anggota dewan yang konsisten turun ke lapangan, membuka kanal aspirasi publik, dan dengan berani menolak rancangan undang-undang yang bertentangan dengan nilai keadilan sosial. Mereka inilah yang menjadi bukti bahwa parlemen yang berpihak pada rakyat bukan sekadar ideal, melainkan mungkin diwujudkan.
Optimisme terhadap DPR ke depan bisa dibangun melalui pembenahan sistemik dan budaya politik. Reformasi parlemen harus menyentuh aspek rekrutmen politik, peningkatan kapasitas legislator, serta penguatan sistem transparansi dan akuntabilitas. Pendidikan politik publik juga penting untuk memastikan bahwa rakyat memilih bukan karena uang atau pencitraan, tetapi karena visi dan rekam jejak keberpihakan terhadap kepentingan rakyat.
Rakyat harus mulai sadar bahwa wakil mereka di parlemen memiliki peran strategis dalam menentukan arah pembangunan nasional. Oleh karena itu, partisipasi kritis, pengawasan publik, dan dorongan terhadap integritas politik harus menjadi gerakan kolektif. Semakin kuat kesadaran dan keterlibatan rakyat, semakin kecil ruang bagi parlemen untuk bermain mata dengan oligarki.
Kita butuh parlemen yang tidak sekadar hadir dalam rapat, tetapi juga hadir dalam nurani rakyat. Parlemen yang menjadikan suara rakyat sebagai kompas moral dan arah kebijakan. Ketika hal ini menjadi kenyataan, maka demokrasi Indonesia akan menemukan bentuk terbaiknya: demokrasi yang berpihak, merakyat, dan bermartabat.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami