__temp__ __location__

HARIAN NEGERI, Jakarta – Guru Besar Hukum dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Mompang Panggabean, menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dalam proses sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Dilansir dalam laman antaranews.com, menurutnya, partisipasi publik merupakan syarat penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU P3, guna menghasilkan naskah akademik yang kuat sebagai landasan pembaruan KUHAP yang setara dengan KUHP baru.

“Penyusunan KUHAP harus dilakukan secara cermat, dan masyarakat perlu dilibatkan,” kata Prof. Mompang dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat (25/4).

Ia mengingatkan bahwa UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebelumnya dianggap sebagai tonggak sejarah karena lahir mendahului kodifikasi hukum pidana materiel, menggantikan sistem hukum kolonial Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang dulu digunakan dalam perkara pidana dan perdata.

Karena itu, menurutnya, pembaruan sistem hukum pidana perlu dilakukan secara menyeluruh, mencakup hukum pidana materiel, hukum pidana formal, serta hukum pelaksanaan pidana.

Prof. Mompang menambahkan bahwa revisi terhadap hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari upaya reorientasi dan reformasi yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial-politik, filosofi, dan budaya masyarakat Indonesia yang tercermin dalam kebijakan sosial, kriminal, dan penegakan hukum nasional.

Ia juga menyoroti bahwa dinamika hukum acara pidana di Indonesia telah berkembang melalui sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah pasal-pasal dalam KUHAP, sejalan dengan prinsip-prinsip internasional seperti due process of law (proses hukum yang adil).

Ia mencatat bahwa sistem hukum nasional kini telah banyak mengadopsi prinsip-prinsip dari berbagai instrumen hukum internasional, termasuk penerapan keadilan restoratif, perlindungan kelompok rentan, dan penguatan peran advokat, yang sesuai dengan konstitusi Indonesia.

“Pembaruan hukum acara pidana secara komprehensif sebagai ius constituendum sudah menjadi kebutuhan mendesak,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti ketimpangan dalam sistem peradilan pidana saat ini, di mana hak pelaku tindak pidana sangat diatur, namun hak korban seringkali terabaikan.

Kondisi ini, menurutnya, memperumit proses hukum dan menciptakan ketidakseimbangan. Padahal, KUHP baru telah memberi perhatian lebih terhadap perlindungan hak-hak korban kejahatan.

Prof. Mompang juga menekankan pentingnya mencegah disparitas dalam penjatuhan hukuman. Salah satu solusinya adalah melalui seleksi hakim yang berintegritas, berkompeten, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, di samping penguatan sistem informasi penelusuran perkara guna mendukung penerapan asas individualisasi pidana.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menyampaikan bahwa saat ini DPR tengah memprioritaskan pembahasan RUU KUHAP dengan menyerap masukan dari berbagai elemen masyarakat, mengingat urgensinya untuk disahkan sebelum 2025.

“RUU KUHAP harus selesai tahun ini agar bisa selaras dengan penerapan KUHP baru yang mulai berlaku 2 Januari 2026,” ujar Rudianto, Selasa (22/4).

Ia menambahkan bahwa UU KUHAP yang masih berlaku sejak 1981 telah mengalami banyak pembatalan norma oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga pembaruan hukum acara pidana ini dinilai sangat penting untuk menjamin kepastian hukum di masa mendatang.

Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie