__temp__ __location__

Oleh: Ira Sukmawati dan Ni Putu Sintia Arista Putri (Mahasiswa Semester 3, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha)

Kita tumbuh dengan gambaran bahwa rumah adalah tempat paling nyaman, ruang untuk bernafas setelah hari yang melelahkan, dan zona aman dari bising dunia luar. Tapi idealisme itu sering nggak sejalan dengan kenyataan. Banyak orang justru merasa paling sesak saat pulang ke rumah—padahal di sanalah mereka seharusnya merasa tenang. Bukannya disambut hangat, mereka justru seperti harus menyiapkan perisai baru setiap kali memutar kunci pintu.

Bagi sebagian orang, rumah bukan sekadar bangunan, tapi medan uji. Ada yang harus berhati-hati saat bicara, memilih kata dengan cermat, karena satu salah ucap bisa menjadi pemicu kritik, bentakan, atau debat panjang yang sebenarnya tidak perlu. Di situlah ironi tumbuh: tempat yang mestinya melindungi malah menjadi sumber luka paling dalam.

Intinya adalah satu: pola asuh yang kaku, komunikasi yang tersendat, dan kontrol yang berlebihan dari orang tua sering menjadi akar luka batin yang susah sembuh. Luka yang nggak kelihatan, tapi efeknya membayang sampai dewasa.

 A. Luka yang Tidak Terlihat: Ketika Kekerasan Emosional Menyusup Pelan-Pelan

Luka hati paling dalam sering bukan datang dari pukulan atau tindakan fisik. Banyak luka lahir dari nada bicara yang menyakitkan, perhatian yang berubah jadi kontrol, atau “kasih sayang” yang dibungkus aturan kaku. Bentuk-bentuk kecil inilah yang bertumpuk hingga menjadi pelecehan mental—jenis KDRT yang paling sulit dilihat, tapi dampaknya paling lama tinggal.

Lingkungan seperti ini menciptakan apa yang sering disebut toxic home: rumah yang dari luar kelihatan normal, tapi perlahan mengikis mental anak lewat komentar yang meremehkan, emosi yang tidak pernah diakui, atau ekspektasi yang tidak pernah habis. Luka batin lahir diam-diam, seperti “benang tak kasat mata yang mengikat dari dalam”.

B. Kontrol Otoriter dan Kurungan yang Tidak Tampak

Di banyak keluarga, niat baik orang tua sering berubah jadi ambisi yang menekan. Kalimat, “Kami tahu yang terbaik buat kamu,” terdengar manis, tapi bisa jadi jebakan ketika tidak diikuti dengan pertanyaan, “Kamu sebenarnya mau apa?”.

Pola seperti ini dikenal sebagai pola asuh otoriter. Di sini, anak diminta untuk patuh tanpa penjelasan, tanpa ruang berdialog, dan tanpa kesempatan memproses keinginannya sendiri. Berbeda dengan pola asuh otoritatif yang memberikan kehangatan dan diskusi, pola otoriter terkesan dingin dan keras.

Akibatnya lahirlah “kurungan halus”: tidak terlihat, tapi terasa membatasi. Anak belajar bahwa diam adalah cara paling aman. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai diri mereka bergantung pada standar orang tua, bukan pada siapa mereka sebenarnya.

Harga diri pun ikut terkikis.

C. Komunikasi yang Buntu dan Bekas Trauma yang Mengikuti Sampai Dewasa

Masalah semakin parah ketika komunikasi di rumah berubah jadi satu arah—penuh perintah dan koreksi, tapi minim pemahaman. Jurnal Nikmatus & Wijayanti (2024) mencatat bahwa pola komunikasi yang penuh instruksi membuat anak terbiasa “mematikan suaranya sendiri”. Mereka hadir, tapi tidak pernah benar-benar didengar.

Luka emosional ini tidak berhenti di masa kecil. Jurnal Halawa (2024) menjelaskan bagaimana trauma semacam ini ikut terbawa hingga dewasa, seperti bayangan yang selalu mengekor. Banyak orang akhirnya tumbuh sebagai individu dengan inner child yang terluka: sulit percaya pada diri sendiri, takut mengecewakan, ragu mengambil keputusan, dan sering merasa asing di tempat yang justru mereka sebut rumah.

Ini bukan kutukan turun-temurun, tapi pola yang bisa diputus jika ada kesadaran. Cinta dalam keluarga seharusnya jadi tempat pulih, bukan sumber sakit. Saatnya bertanya dengan jujur: cara kita mencintai—apakah benar menyembuhkan, atau justru menyisakan luka diam-diam?

D. Menyembuhkan Diri dan Memutus Rantai Luka Batin

Pemulihan dimulai dari keberanian untuk menantang narasi lama. Kita belajar melihat pengalaman pahit bukan sebagai kegagalan, tapi sebagai jalan untuk tumbuh dan lebih kuat. Proses ini biasanya terbantu dengan konseling, latihan komunikasi yang lebih empatik, dan kebiasaan merawat diri yang konsisten.

Pada akhirnya, penyembuhan berarti mengambil kembali kendali atas diri sendiri.

Rumah yang sehat bukan rumah tanpa konflik, tapi rumah yang mau mendengar sebelum menghakimi. Rumah yang memberikan ruang aman untuk berpendapat, merasa, dan tumbuh. Jika generasi sekarang mampu memilih pola asuh yang lebih lembut, lebih terhubung, dan lebih memahami emosi, maka anak-anak mereka tidak lagi tumbuh sebagai tamu di rumah sendiri.

Mereka akan benar-benar pulang.

REFRENSI

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie