Oleh: Wasila Ghina Ayyasy
Baru saja masyarakat Indonesia digemparkan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang minim penjelasan, kini masyarakat kembali harus menghadapi hiruk pikuk pemerintahan akibat pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dilakukan secara diam-diam dan buru-buru seakan kejar tayang.
Tepat pada 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam rapat paripurnanya mengesahkan RUU TNI sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Pengesahan RUU TNI ini menjadi polemik di tengah masyarakat dikarenakan proses formil dan substansinya tidak sejalan, bahkan bertentangan secara langsung dengan norma-norma konstitusional yang tertuang dalam UUD 1945.
Aspek pertama yang menjadi sorotan publik yakni proses formil pembentukan UU TNI. Pembahasan RUU TNI dilaksanakan secara tertutup tanpa memberikan kesempatan partisipasi bagi rakyat. Padahal hukum telah menegaskan dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang.
Jika memang RUU TNI tersebut memiliki tujuan yang baik untuk kepentingan publik, sudah seharusnya dilaksanakan berdasarkan asas keterbukaan tanpa ada ketakutan, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 huruf g UU 13 Tahun 2022. Bahkan, hingga detik-detik pengesahan pun draft dari RUU TNI belum sampai secara resmi ke tangan publik. Saking tertutupnya pembahasan ini, masyarakat sipil harus mendobrak pintu ruangan rapat misterius tersebut dan menerima perlakuan tidak mengenakkan.
Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar, sebenarnya apa yang terjadi dengan demokrasi Indonesia? Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi namun keberadaannya seakan tidak dihargai saat ini. Lebih parah, pembahasan RUU TNI ini dilaksanakan di hotel mewah dalam keadaan maraknya efisiensi, di akhir pekan dan di malam hari.
Mirisnya, lokasi pembahasan RUU TNI ini bahkan dijaga dengan ketat oleh prajurit TNI (Kopasus) beserta kendaraan bajanya. Pada hakikatnya tugas Kopasus adalah perang melawan musuh negara, tapi di Indonesia dewasa ini mereka seakan beralih fungsi untuk perang melawan bangsanya sendiri. Dari sini kita dapat melihat bahwa bukan masyarakat yang ingin berlaku skeptis kepada pemerintah dan DPR selaku wakilnya sendiri, namun mereka lah yang menggiring opini masyarakat pada hal tersebut.
Kedua, aspek utama sebagai problematika inti adalah substansi dari RUU TNI. Beberapa pasal yang direvisi sejatinya hanya mengakomodir kepentingan kelompok tertentu saja. Hal ini sangat bertentangan dengan asas kedayagunaan atau kehasilgunaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal-pasal tersebut diantaranya Pasal 7 Ayat (2) yang menambahkan 2 fungsi TNI aktif dalam operasi militer selain perang.
Hal ini tentu mengakibatkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, seperti pengaburan batas kewenangan antara TNI - Komdigi dalam bidang siber atau operasi informasi dan dengan BSSN terkait keamanan siber. Selain itu pasal ini juga mengakibatkan tumpang tindih kewenangan TNI dengan BIN dalam mendeteksi dini ancaman ideologi non-fisik yang seharusnya menjadi tugas intelijen sipil bukan militer.
Kemudian Pasal 47 Ayat (1) mengenai perluasan wilayah kekuasaan TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil dari yang sebelumnya 10 kementerian atau lembaga menjadi 14 kementerian atau lembaga, bahkan diperkenankan juga mengambil posisi di kementerian atau lembaga selain itu jika dibutuhkan.
Meskipun perluasan jabatan tersebut dikatakan sebatas kesamaan tupoksi dan atas permintaan lembaga yang bersangkutan, namun tidak ada yang dapat menjamin transparansi agar kepercayaan publik tidak dipermainkan. Kebijakan ini menambahkan potensi militerisasi negara yang bertentangan dengan separation of power dan mencederai supremasi sipil.
Selain itu juga ada Pasal 53 Ayat (2) dan (4) yang memperpanjang usia pensiun bagi anggota TNI menjadi dalam rentang 55-63 tahun. Kebijakan ini merugikan masyarakat karena membebani anggaran negara untuk membiayai personel aktif. Co-founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) mengungkapkan potensi anggaran untuk perpanjangan usia pensiun 679 TNI tahun 2025 mencapai Rp412 miliar.
Anggaran yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik malah digunakan untuk kepentingan pejabat belaka, miris sekali. Disamping itu, hal ini juga berdampak pada karir anggota TNI di bawahnya yang mengalami stagnansi karena banyak perwira junior tidak bisa naik jabatan akibat posisi diisi perwira tua yang tetap aktif.
Terlebih lagi potensi penyalahgunaan wewenang karena adanya celah untuk manipulasi jabatan, yang bisa digunakan untuk agenda politik tertentu. Secara keseluruhan kita perlu membuka mata bahwa Revisi UU TNI ini memperbesar supremasi militer dan memukul mundur demokrasi di Indonesia. Kebijakan ini melahirkan disharmonisasi dengan UUD 1945 yang menekankan kepentingan rakyat diatas segalanya.
Protes-protes yang dilayangkan oleh masyarakat malah mendapat respon tidak bijak dari negara. Alih-alih mengkonfirmasi kesalahan, para pemangku kebijakan justru melakukan pergerakan yang mengintimidasi masyarakat. Tidak hanya sebatas mengeluarkan kata kasar, tapi mereka juga melakukan berbagai macam upaya seperti teror, ancaman bahkan kekerasan kepada orang-orang yang bersikap kritis terhadap kebijakan ini.
Indonesia sebagai negara demokrasi seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yakni kedaulatan berada ditangan rakyat saat ini hanya sebatas teori dan simbol saja, karena pada kenyataannya yang terjadi adalah pola-pola pemerintahan yang otoriter dan anti kritik. Bencana ini seakan membawa bangsa Indonesia bertemu kembali dengan wajah orde baru. DPR saat ini berfungsi sebagai pembunuh demokrasi.
Alih-alih menjaga prinsip demokrasi sebagai tangan kanan rakyat, DPR justru meruntuhkan eksistensi rakyat sebagai penguasa kedaulatan di Indonesia. Mereka lebih memilih jalan gelap menukar idealisme dengan bisikan persekongkolan yang kelak akan menggerogoti fondasi negara. Seakan tidak menyadari bahwa dimasa yang akan datang partai politik berpotensi mengalami tekanan militer dalam menjalankan pemerintahan. Revisi UU TNI adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja memporakporandakan demokrasi Indonesia
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami