__temp__ __location__

Oleh: Muhammad Ikhsan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan ini menegaskan bahwa seluruh aspek penyelenggaraan kekuasaan harus tunduk pada hukum, dan hukum itu sendiri wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pemikiran filsuf John Locke menempatkan negara sebagai institusi yang dibentuk untuk melindungi hak-hak dasar manusia, seperti hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Dalam kerangka negara hukum modern, fungsi utama negara bukan sekadar menertibkan masyarakat, melainkan memastikan setiap individu hidup dalam jaminan kebebasan dan kesetaraan.

Oleh karena itu, sebagai negara hukum, Indonesia berkewajiban menjaga dan melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya, termasuk hak untuk memilih dan dipilih dalam proses demokrasi electoral.

Hak untuk memilih dan dipilih merupakan bagian dari hak asasi manusia yang bersifat politik dan dijamin secara tegas dalam konstitusi. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ketentuan ini dikuatkan oleh Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Kedua norma ini menempatkan hak politik sebagai hak yang tidak boleh dibatasi tanpa alasan yang logis dan proporsional. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 juga menimbang bahwa “hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.”

Pernyataan ini memperkuat bahwa pembatasan yang tidak logis dan tidak proporsional terhadap hak politik bukan hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga dapat berpotensi inkonstitusional. Dalam negara hukum, pelaksanaan demokrasi elektoral seharusnya memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga negara untuk berpartisipasi, bukan justru menghadirkan hambatan administratif yang berpotensi melanggar prinsip kesetaraan.

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 memberikan ruang bagi negara untuk membatasi hak asasi manusia, namun pembatasan tersebut tidak bersifat mutlak. Setiap pembatasan hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, dan harus ditujukan untuk menghormati hak orang lain, nilai moral, ketertiban umum, atau keamanan nasional. 

Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa pembatasan hak, termasuk hak politik, hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi sejumlah syarat ketat. Salah satunya adalah bahwa pembatasan harus didasarkan atas alasan-alasan yang sangat kuat, masuk akal, proporsional, dan tidak berlebihan. Hakim Konstitusi Arief Hidayat bahkan menegaskan bahwa pembatasan tidak boleh diskriminatif, serta tidak boleh menghambat atau menghilangkan secara tidak sah kesempatan yang sama di depan hukum dan pemerintahan.

Sebagai preseden, Putusan MK Nomor 128/PUU-XIII/2015, menyatakan bahwa ketentuan yang mensyaratkan calon kepala desa harus telah berdomisili di desa setempat selama minimal satu tahun sebelum pendaftaran bertentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa meskipun desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional, prinsip kesetaraan dan keterbukaan tetap harus dijunjung tinggi dalam proses pencalonan jabatan publik. Dengan demikian, upaya membatasi akses pencalonan hanya karena faktor tempat tinggal tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, terlebih jika pembatasan tersebut tidak didasarkan pada kebutuhan yang proporsional atau alasan yang kuat.

Di tengah kuatnya prinsip kesetaraan dan jaminan hak politik yang telah ditegaskan dalam hukum indonesia, Kekhawatiran terhadap memudarnya nilai-nilai lokalitas dalam kepemimpinan daerah bukan hal yang asing. Sebagai contoh, survei yang dilakukan di Bekasi pada tahun 2024 menunjukkan 64,1% masyarakat Kabupaten Bekasi memilih calon Bupati dan calon Wakil Bupati karena putra daerah.

Parahnya lagi, hal semacam ini juga muncul dengan upaya permohonan uji materiil yang diajukan oleh Abu Rizal Biladina terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada. Inti dari permohonannya yaitu meminta agar hanya putra daerah yang boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Permohonan ini mencerminkan keinginan untuk melindungi identitas dan kepentingan lokal melalui eksklusifitas hukum. Namun Mahkamah Konstitusi dengan tegas menolak permohonan tersebut, karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan warga negara dalam hukum dan pemerintahan.

Penolakan ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga tepat secara etis. Jika negara mengakomodasi semangat kedaerahan dalam bentuk pembatasan hukum, maka ruang partisipasi akan dikunci oleh garis asal-usul, bukan oleh kualitas kepemimpinan. Skema semacam ini bukanlah solusi, melainkan kemunduran demokrasi. Ia membuka jalan bagi diskriminasi yang dibungkus dengan narasi perlindungan budaya, padahal sesungguhnya mengkhianati semangat konstitusi yang menjamin akses setara bagi seluruh warga negara.

Oleh karena itu, apabila yang menjadi perhatian adalah sejauh mana calon memahami karakter dan kebutuhan daerah yang akan dipimpinnya, maka pendekatannya sebaiknya tidak melalui pembatasan administratif yang tertutup. Justru yang dibutuhkan adalah mekanisme yang terbuka dan adil untuk menguji kapasitas serta kedalaman pemahaman calon terhadap lokalitas, agar proses seleksi tetap berpijak pada kualitas, bukan sekadar asal-usul.

Jika yang menjadi perhatian adalah kapasitas dan lokalitas calon dalam memahami daerah yang akan dipimpinnya, maka pendekatan yang paling adil dan konstitusional bukanlah dengan membatasi siapa yang boleh mencalonkan diri, melainkan dengan menguji kualitas secara terbuka. Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan KPU adalah forum diskusi publik Bersama calon kepala daerah. Diskusi harus melibatkan panel dari berbagai unsur, seperti akademisi untuk menguji kompetensi teknis dan gagasan kebijakan, serta tokoh adat atau masyarakat setempat untuk menilai keterikatan dan sensitivitas terhadap nilai-nilai lokal.

Melalui mekanisme ini, masyarakat dapat menilai langsung sejauh mana calon memahami karakter sosial, budaya, dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Pendekatan semacam ini mendorong demokrasi yang partisipatif dan berbasis kualitas, bukan sekadar administratif. Karena dalam sistem demokrasi yang sehat, legitimasi seorang pemimpin tidak ditentukan oleh tempat ia dilahirkan atau tinggal, melainkan oleh sejauh mana ia mampu membawa daerahnya maju melalui visi, kapasitas, dan keberpihakan yang nyata.

Yusuf Wicaksono

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie