__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Dalam sejarah peradaban Islam, ilmu pengetahuan tidak pernah dipisahkan dari nilai-nilai ketuhanan. Para ulama klasik memahami bahwa ilmu bukan sekadar sarana intelektual, melainkan juga jalan menuju penghambaan yang lebih mendalam kepada Allah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya, terlepas dari apakah itu ilmu agama seperti fikih atau ilmu dunia seperti kedokteran, falak, atau matematika. Semua ilmu, selama membawa maslahat dan berakar pada semangat tauhid, adalah bagian dari ibadah.

Namun dalam realitas kontemporer, muncul kecenderungan di sebagian kalangan umat Islam yang memandang bahwa suatu ajaran hanya dapat dianggap islami jika merujuk langsung pada teks keagamaan secara literal. Ilmu pengetahuan modern, kebijakan publik, bahkan isu-isu sosial seperti teknologi dan ekologi kerap dianggap di luar wilayah Islam hanya karena tidak disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau hadis. Tanpa disadari, cara pandang ini justru mengandung semangat sekulerisme terselubung, karena memisahkan ajaran Islam dari dinamika kehidupan manusia secara utuh.

Sekulerisme, dalam pengertiannya yang historis, adalah paham yang memisahkan agama dari urusan publik dan negara. Jean Baubérot, pakar asal Prancis, menjelaskan bahwa sekulerisme tumbuh dari konteks sejarah Eropa yang ditandai oleh dominasi gereja terhadap politik. Namun saat konsep ini diadopsi secara mentah dalam konteks Muslim, sering kali yang terjadi bukan netralitas, melainkan keterputusan antara iman dan realitas. Padahal Islam justru datang untuk menyatukan keduanya.

Dalam tradisi keilmuan Islam, integrasi antara akal dan wahyu adalah fondasi utama. Tokoh seperti Ibn Sina, Al-Kindi, dan Al-Farabi menulis tentang logika, kedokteran, dan filsafat bukan untuk keluar dari agama, tetapi justru untuk meneguhkan posisi manusia sebagai khalifah. Mereka tidak memisahkan ilmu dari iman, melainkan mengaitkannya dalam kerangka tanggung jawab spiritual. Ini selaras dengan pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas yang memperkenalkan konsep epistemologi Islam, yakni cara memperoleh dan memaknai ilmu yang berlandaskan pada keimanan dan akhlak.

Teori Multiple Modernities dari Shmuel Eisenstadt menunjukkan bahwa modernitas tidak harus mengikuti pola tunggal seperti yang terjadi di Barat. Dunia Muslim bisa mengembangkan bentuk modernitasnya sendiri yang bersumber dari nilai dan tradisi Islam. Namun prasyaratnya adalah membangun kesadaran bahwa Islam bukan sekadar teks yang dibacakan, tapi nilai yang diwujudkan dalam realitas sosial, ekonomi, dan politik.

Way of life dalam Islam bukan semata kumpulan aturan, tetapi sistem hidup yang mengintegrasikan dimensi spiritual, moral, dan rasional. Al-Farabi dalam gagasannya tentang al-madinah al-fadhilah menggambarkan masyarakat ideal sebagai komunitas yang dipimpin oleh kebajikan, ilmu, dan hikmah. Di sinilah ilmu menjadi cahaya, bukan hanya alat. Tugas umat Islam adalah menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks zaman, bukan memenjarakannya dalam ruang simbolik belaka.

Bahaya laten dari dikotomi berpikir—antara kelompok yang hanya mengandalkan teks tanpa konteks, dan kelompok yang larut dalam relativisme nilai—adalah kebingungan arah. Keduanya berisiko menjauh dari ruh Islam yang menyatukan iman, ilmu, dan amal. Menyempitkan agama hanya pada aspek ibadah individual atau simbol semata, sejatinya mengerdilkan peran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Dalam konteks ini, peran kaum intelektual Muslim menjadi sangat strategis. Tugas mereka bukan hanya menghafal ayat dan hadis, tetapi menghidupkannya dalam kehidupan nyata. Islam perlu hadir sebagai sumber inspirasi keilmuan, pijakan etika sosial, dan acuan kebijakan publik. Peradaban tidak dibangun dengan nostalgia atau kecaman, tetapi dengan kreativitas, keberanian berpikir, dan komitmen etis yang berakar pada nilai-nilai ilahiah.

Menyalahkan Barat atau kolonialisme atas stagnasi ilmu dan pemikiran umat tentu tidak cukup. Meski sejarah mencatat kerusakan yang ditinggalkan kolonialisme terhadap institusi pendidikan Islam, kini pilihan ada di tangan kita. Apakah akan terus berkutat dalam dikotomi lama, atau membangun peradaban baru yang relevan dengan tantangan zaman dan tetap berakar pada tauhid.

Kini saatnya umat Islam merebut kembali makna Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dan itu dimulai dengan keberanian untuk keluar dari sekat-sekat semu yang memisahkan agama dari realitas. Islam tidak hadir untuk menjadi penghakim kehidupan modern, tetapi untuk menjadi cahaya yang membimbingnya. Menyatukan iman, ilmu, dan amal bukan sekadar slogan, melainkan fondasi untuk membangun kembali peradaban yang tercerahkan.

Yusuf Wicaksono

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie