__temp__ __location__

Oleh: Carissa Az Zahra

Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka lahir ditengah-tengah purnawirawan TNI, sebanyak 103 purnawirawan TNI mengajukan delapan permohonan kepada Presiden Prabowo Subianto. Salah satu isi dalam permohonan tersebut adalah tuntutan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Tuntutan ini pertama kali muncul dari sekelompok purnawirawan TNI yang berjumlah 103 orang yang secara terbuka menuntut agar Wakil Presiden Gibran dimakzulkan.

Menanggapi hal ini, Mayor Jenderal Purnawirawan Komaruddin Simanjuntak, yang saat ini menjabat sebagai pelaksana tugas Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) menyatakan penolakan terhadap wacana pemakzulan tersebut. PPAD sendiri adalah organisasi resmi berbadan hukum yang mewadahi purnawirawan TNI Angkatan Darat dan mereka mengeluarkan pernyataan sikap resmi sebagai respons atas tuntutan pemakzulan yang diajukan oleh 103 purnawirawan tersebut.

Rasionalisasi di balik penolakan PPAD adalah bahwa tuntutan pemakzulan ini dinilai tidak berdasar dan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik, sehingga organisasi tersebut memilih untuk menolak keras wacana tersebut demi menjaga keharmonisan dan stabilitas nasional.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, mekanisme pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden  diatur secara ketat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Ini berarti, pemakzulan Wakil Presiden yang dimohonkan dan didesak oleh purnawirawan TNI tersebut tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketentuan konstitusi.

Secara konstitusional, proses pemakzulan atau impeachment terhadap Wakil Presiden hanya dapat dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi, dengan alasan-alasan yang jelas seperti pelanggaran hukum berat atau pengkhianatan terhadap negara. Tuntutan yang muncul dari kelompok purnawirawan tersebut tidak memenuhi prosedur formal maupun alasan substantif yang diatur dalam konstitusi, sehingga upaya pemakzulan secara langsung tanpa melalui mekanisme dan lembaga yang berwenang akan menimbulkan inkonstitusionalitas.

Menurut Pasal 7B UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden hanya dapat dilakukan apabila, yaitu:

a. Diusulkan oleh DPR;

b. Didukung oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna yang dihadiri noleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR;

c. Dilengkapi putusan MK yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

d. Dilakukan dalam sidang paripurna MPR yang dihadirkan oleh sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.

Tuntutan pemakzulan Wakil Presiden oleh Purnawirawan TNI tidak sama sekali memenuhi persyaratan pemakzulan yang disebutkan dalam pasal 7B, maka dapat kita katakan bahwa pemakzulan oleh purnawirawan TNI tersebut adalah cacat secara formil. Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden merupakan kewenangan konstitusional yang hanya dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan oleh individu atau kelompok masyarakat, termasuk purnawirawan TNI. Sebagai warga negara, purnawirawan TNI berhak mengeluarkan aspirasi politik dan memberikan rekomendasi terkait berbagai isu.

Namun, hak untuk menyampaikan aspirasi tersebut tidak serta-merta memberikan kewenangan untuk mengintervensi atau mengacaukan proses hukum yang diatur secara formal seperti mekanisme pemakzulan yang harus dijalankan melalui prosedur resmi di lembaga negara terkait. Oleh karena itu, tindak lanjut atas rekomendasi atau tuntutan yang mereka ajukan sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan MPR sesuai dengan ketentuan konstitusi.

Meskipun sudah lepas dari instansi militer, purnawirawan TNI tidak dapat dilibatkan dalam isu politik strategis seperti pemakzulan Wakil Presiden, hal ini dapat menciptakan persepsi ancaman terhadap prinsip netralitas militer dan supremasi sipil. Seperti yang kita ketahui, TNI POLRI merupakan alat negara yang netral dan tidak bisa dikaitkan dengan politik. Hal ini dapat menimbulkan instabilitas politik dan pelanggaran demokrasi konstitusional.

Desakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden oleh purnawirawan TNI tidak memiliki dasar hukum yang sah dan menentang konsep ketatanegaraan Indonesia. Mekanisme pemakzulan merupakan ranah lembaga legislatif dan yudisial, bukan secara bebas dituntut oleh individu atau kelompok masyarakat. Solusi dalam permasalahan ini adalah menyerukan kepada semua pihak, termasuk purnawirawan TNI agar menyampaikan aspirasi politik secara konstitusional dan melengkapi syarat formil serta tidak mencampuri kewenangan lembaga negara.

Aparat penegak hukum harus selalu waspada terhadap gerakan yang berpotensi mengarah pada tindakan inkonstitusional atau mengganggu stabilitas negara. Desakan tersebut sebaiknya tidak dilanjutkan, dan semua pihak harus menghormati mekanisme hukum Indonesia yang berlaku demi menjaga stabilitas dan integritas negara.

Yusuf Wicaksono

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie