__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Dalam dinamika geopolitik Timur Tengah yang senantiasa bergejolak, konflik terbuka antara Israel dan Iran kembali menampakkan wajah tergelapnya. Bagi Iran, perang ini bukan sekadar soal pertahanan militer, tetapi juga simbol keberlangsungan eksistensial atas kedaulatan, harga diri, dan peran strategisnya di dunia Islam dan kawasan. Ketegangan terbaru yang meledak menjadi serangan terbuka menempatkan Iran dalam posisi tersudut, tetapi juga sekaligus mengaktifkan naluri ketahanan nasional dan semangat resistensi yang telah lama menjadi identitas politik negeri para Mullah ini.

Bagi rakyat dan pemimpin Iran, serangan Israel tidak hanya dilihat sebagai tindakan agresi militer, tetapi juga bagian dari strategi jangka panjang untuk menekan pengaruh Iran di kawasan. Retorika yang digaungkan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan didukung oleh Presiden Donald Trump memperjelas tujuan strategis itu: menghancurkan potensi nuklir Iran dan mengakhiri peran Iran sebagai kekuatan regional. Namun, apa yang kerap luput dari narasi Barat adalah bahwa program nuklir Iran secara resmi tetap dalam kerangka damai, sebagaimana ditegaskan oleh fatwa Ayatollah Ali Khamenei yang melarang senjata nuklir dalam Islam.

Dalam artikel dari The New York Times berjudul "How the Israel-Iran Conflict Could Spiral Into More Turmoil", ditulis oleh Mark Landler dan dipublikasikan pada 14 Juni 2025, disebutkan bahwa Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Iran dengan target yang mencakup pusat-pusat komando militer dan infrastruktur strategis. Landler menggambarkan bagaimana Iran membalas dengan meluncurkan rudal ke kota-kota di Israel, sementara Netanyahu menyatakan bahwa operasi militer akan terus berlangsung sampai ancaman nuklir Iran lenyap. Artikel ini mencerminkan cara pandang Barat yang cenderung membenarkan tindakan Israel sebagai upaya pre-emptive strike, padahal bagi Iran dan sebagian besar dunia Global South, hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan dan hukum internasional.

Dari perspektif Iran, perang ini tidak bisa dilepaskan dari konteks lebih luas: dominasi narasi geopolitik Barat yang selama puluhan tahun mendiskreditkan Iran pasca-Revolusi 1979. Iran diposisikan sebagai ancaman, bukan karena tindakan agresifnya, tetapi karena pilihannya untuk merdeka secara politik dan berdiri melawan hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya. Dalam doktrin keamanan Iran, resistensi adalah bentuk pertahanan, bukan provokasi. Hal ini tercermin dalam kebijakan luar negeri "muqawamah" (perlawanan) yang tidak hanya diterjemahkan dalam konteks militer, tetapi juga dalam solidaritas dengan Palestina dan penolakan terhadap dominasi Israel di kawasan.

Konflik ini pun semakin kompleks karena dibingkai dengan narasi apokaliptik oleh Presiden Donald Trump, yang dalam media sosialnya menyatakan bahwa “Iran harus membuat kesepakatan sebelum tidak ada yang tersisa.” Retorika seperti ini bukan saja membahayakan diplomasi internasional, tetapi juga mencerminkan kegagalan pendekatan multilateral dalam meredam ketegangan. Diplomasi digantikan oleh ancaman, dan hukum internasional dikalahkan oleh logika kekuasaan militer.

Namun demikian, Iran tidak tinggal diam. Dalam beberapa pernyataan resmi, Teheran menyebut bahwa agresi Israel justru akan mempersatukan rakyat dan memperkuat tekad nasional. Solidaritas internal yang dibangun dari semangat revolusi 1979, ditambah dengan jaringan aliansi regional seperti Hizbullah di Lebanon dan milisi di Irak dan Suriah, memberikan Iran keunggulan strategis dalam bentuk perang tidak simetris. Iran tidak bermain di medan konvensional semata, tetapi juga dalam skenario perang jangka panjang yang melelahkan secara politik dan moral bagi musuhnya.

Kritik juga perlu diarahkan pada sikap sebagian media Barat yang terlalu cepat mengadopsi narasi Israel dan AS tanpa menampilkan sisi Iran secara utuh. Media seperti The New York Times, meski terkemuka, kerap menekankan aspek militer dari Iran tanpa menyelami dimensi politik, sejarah, dan spiritualitas dari sikap resistensial negara ini. Padahal, dalam sejarahnya, Iran bukan negara ekspansionis. Iran tidak menjajah negara lain. Yang dilakukan Iran adalah mempertahankan eksistensinya di tengah kepungan sanksi dan ancaman selama lebih dari empat dekade.

Konflik ini tentu membawa dampak kemanusiaan yang dalam, dan Iran memahami bahwa perang bukan solusi jangka panjang. Tetapi selama ancaman eksistensial datang dari luar, Iran merasa berkewajiban untuk bertahan. Negara ini memiliki sejarah panjang peradaban, akar identitas yang kuat, dan rakyat yang terbiasa hidup dalam tekanan, namun tidak kehilangan harapan. Dalam pandangan Iran, kemenangan bukan hanya soal senjata, tetapi juga soal bertahan dalam prinsip dan martabat.

Sebagai penutup, perlu disampaikan bahwa apa pun eskalasi yang terjadi, Iran tetap memiliki peluang besar untuk menunjukkan ketahanannya. Daya lenting bangsa ini bukan hanya bersumber dari kekuatan militer, tetapi juga dari keyakinan spiritual, kebudayaan yang mandiri, dan solidaritas rakyatnya. Iran bukan negara yang mudah dihancurkan oleh perang, karena sejarah telah membuktikan bahwa bangsa ini selalu bangkit kembali dari reruntuhan.

Dengan ketahanan ideologis dan jaringan regional yang kuat, serta tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dari segala bentuk dominasi, Iran akan terus menjadi aktor penting yang diperhitungkan dalam geopolitik dunia. Dukungan dari masyarakat internasional yang menjunjung keadilan dan hukum internasional harus tetap dikumandangkan, karena di balik kabut perang, ada bangsa yang tengah mempertahankan hak untuk berdiri tegak di antara gempuran kekuatan besar.

Yusuf Wicaksono

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie