Oleh: Izzah Aulia
Di Indonesia kesetaraan dalam sistem demokrasi sangat dijunjung tinggi, hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang menjamin kesempatan setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam lingkup pemerintahan.
Dalam dunia politik sistem eksklusifitas daerah jelas bertentangan dengan konstitusi karena membatasi hak seseorang untuk turut serta dalam pencalonan pemerintahan di daerah tertentu, hadirnya sistem ini berpotensi mengebiri asas “equality before the law” yang mengandung makna pentingnya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan.
Asas ini sejatinya dijadikan landasan hukum umum yang memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mengambil peran dalam pemerintahan sebagai bagian dari hak pilih dan dipilih yang dijamin oleh konstitusi negara. Indonesia sejatinya memang mengakui adanya daerah-daerah khusus dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945, kemudian sejalan dengan hal tersebut, Indonesia juga menjamin adanya prinsip otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan.
Namun, sistem otonomi daerah yang dijamin oleh Indonesia seharusnya berfokus untuk mendorong pembangunan yang merata, bukan membatasi hak politik warga negara lain yang berpotensi lebih kompeten untuk mengambil peran dalam pemerintahan.
Eksklusivitas erat kaitannya dengan frasa putra daerah, yakni individu yang dilahirkan di wilayah dimana ia ingin mencalonkan diri, yang kemudian dijadikan prioritas dalam demokrasi daerah setempat. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi” menjelaskan bahwa terdapat suatu istilah yang menjadi pedoman di Amerika Serikat, salah satu negara yang dianggap memiliki sistem presidensial terbaik.
Yakni kalimat “the rule of law, and not of the man”, yang mengisyaratkan makna bahwa pemimpin sejatinya bukanlah manusia ataupun orang, tetapi sebuah sistem dan aturan yang dijadikan pedoman bagi yang menduduki jabatan kepemimpinan. Dalam hal ini, Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang dijadikan sebagai landasan ketentuan pencalonan kepala daerah tidaklah mengakomodir putra daerah sebagai persyaratan, sehingga pembatasan pencalonan dalam pemerintahan daerah setempat dengan bayang-bayang putra daerah merupakan salah satu pembatasan hak politik warga negara.
Kemudian dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 kembali menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk dipilih dan memilih, sehingga adanya pembatasan terhadap hak politik warga negara merupakan kekeliruan logika yang mesti diluruskan. Sejalan dengan putusan tersebut diperkuat kembali dengan eksistensi Pasal 24C UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sehingga pembatasan pencalonan dalam lingkup pemerintahan dengan menggunakan frasa “eksklusivitas dan putra daerah” sejatinya inkonstitusional.
Prioritas pencalonan pemerintahan lewat putra daerah seyogyanya tidak serta merta langsung menjamin bahwa mereka adalah individu yang kompeten dan memiliki kapabilitas dalam memimpin. Kasus Nurdin Abdullah, mantan Gubernur Sulawesi Selatan yang terjerat perkara suap membuktikan bahwa gelar putra daerah tidak selamanya menjamin ikatan moralitas dengan daerah yang dipimpinnya.
Pada Mei 2015 dilansir dari surat kabar Republika, mantan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut mendapatkan penghargaan “Tokoh Perubahan”. Akan tetapi pada Februari 2021, Nurdin ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka kasus penyuapan barang, jasa, dan pembangunan infrastruktur di wilayah Sulawesi Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berangkat dari kasus diatas tentunya hal tersebut sangat merugikan wilayah Sulawesi Selatan oleh pemerintah yang tidak dapat mempertahankan moralitasnya. Padahal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah hadir sebagai landasan hukum yang nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yang mencegah adanya praktik korupsi dan pelanggaran hukum lainnya, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan prinsip transparansi, jujur, dan akuntabilitas.
Adanya pembatasan bagi warga negara untuk mengambil peran dalam pemerintahan sejatinya berpotensi merujuk pada praktik politik identitas yang dibalut oleh frasa putra daerah dengan janji manis memiliki ikatan kuat dengan daerahnya. Pembatasan hak warga negara melalui regionalisasi sama artinya dengan pengingkaran terhadap hak pilih dan dipilih serta melanggar konstitusi.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami