__temp__ __location__

Oleh: Irhas Abdul Hadi

Ketika Tangerang Selatan disebut, yang pertama terlintas di benak banyak orang bukanlah pusat pemerintahannya, tetapi kawasan-kawasan elit yang dibentuk oleh kekuatan modal swasta: BSD City, Bintaro Jaya, Alam Sutera, Summarecon Serpong, dan lain-lain. Kota ini seolah diasosiasikan dengan perumahan mewah, pusat perbelanjaan megah, infrastruktur lebar nan tertata, dan sistem tata ruang yang rapi. Sayangnya, semua itu bukanlah hasil kerja tangan pemerintah.

Dalam kenyataannya, lebih dari 68% wilayah Tangerang Selatan dikelola dan dikembangkan oleh sektor swasta. Dari BSD yang mencakup sekitar 60 km² hingga Bintaro yang membentang lebih dari 23 km², pemerintah kota tampak hanya berperan sebagai pengatur administratif dari ruang-ruang yang tumbuh karena inisiatif pasar.

Lalu, bagaimana dengan wilayah yang benar-benar menjadi tanggung jawab pemerintah secara penuh? Wilayah di mana tidak ada intervensi developer swasta, tidak ada zonasi perumahan eksklusif, dan tidak ada tata ruang yang disubsidi oleh modal besar?

Jawabannya: Ciputat ibu kota administratif Tangerang Selatan yang justru menjadi wajah paling lusuh dari kota yang katanya urban dan modern.

Ironi Ibu Kota yang Tak Punya Wajah Kota

Sebagai pusat pemerintahan, Ciputat seharusnya menjadi simbol wajah kota. Di sinilah kantor Wali Kota berada, pusat administrasi bergerak, dan berbagai lembaga negara ditempatkan. Tapi hari ini, ketika seseorang menyebut “Ciputat”, bukan wajah kota yang muncul di bayangan publik, melainkan kemacetan, pasar yang sumpek, terminal yang semrawut, dan jalanan yang terlalu kecil untuk beban kendaraan yang melintas.

Ciputat tidak memiliki alun-alun kota. Tidak ada taman besar yang menjadi pusat aktivitas warga. Tidak ada jalur pedestrian yang manusiawi. Bahkan fasilitas transportasi umum di pusat kotanya justru menjadi titik paling tidak nyaman untuk dilalui. Semua ini sangat kontras dengan wilayah-wilayah lain di Tangsel yang dikembangkan oleh swasta, lengkap dengan ruang terbuka hijau, danau buatan, jalur sepeda, hingga kawasan hunian yang steril dari hiruk pikuk urban.

Pemerintah kota seperti lupa bahwa Ciputat adalah “rumahnya sendiri”. Dan ironisnya, mereka justru tampak lebih sibuk mengurusi ‘rumah tetangga’ yang sudah rapi karena ditata swasta.

Krisis Tata Kota dan Abainya Pemerintah

Pertanyaannya bukan hanya mengapa Ciputat tertinggal, tetapi mengapa pemerintah begitu pasif dan permisif terhadap ketimpangan ruang yang mereka ciptakan sendiri. Ketika sektor swasta mengelola hampir seluruh wilayah Tangsel, maka seharusnya pemerintah memfokuskan perhatian, energi, dan anggaran publik untuk menata ruang yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.

Tapi kenyataan berkata lain. Pemerintah kota seolah membiarkan Ciputat berkembang liar tanpa arah, tanpa cetak biru jangka panjang, dan tanpa niat serius untuk direvitalisasi. Fungsi ruang tumpang tindih antara pasar, terminal, jalan, sekolah, kantor, dan permukiman. Tidak ada manajemen transportasi terpadu. Tidak ada relokasi atau zonasi ulang. Setiap hari, masyarakat terjebak dalam kemacetan yang seharusnya bisa diatasi dengan desain kota yang cerdas.

Lebih jauh, tidak adanya ruang publik seperti alun-alun kota bukan hanya kelalaian teknis, tapi bentuk kehilangan roh demokrasi perkotaan. Sebuah kota tanpa alun-alun adalah kota tanpa ruang berkumpul, tanpa tempat simbolik untuk merayakan kebersamaan dan menyuarakan aspirasi. Ini bukan hanya soal desain, tapi soal makna.

Saatnya Rakyat Bersuara, Bukan Hanya Menyesuaikan

Kritik terhadap kondisi Ciputat bukan sekadar keluhan teknis warga tentang macet dan sumpek. Ini adalah kritik atas kegagalan struktural pemerintah dalam mengelola ruang yang menjadi miliknya sendiri. Ketika warga di Serpong atau Bintaro hidup dalam kenyamanan tata ruang, warga Ciputat dipaksa hidup dalam ruang yang sempit, penuh, dan lelah padahal mereka tinggal di ibu kota administratif.

Sudah waktunya masyarakat tidak lagi memaklumi keadaan ini. Ciputat butuh narasi baru, bukan hanya dari pemerintah, tapi dari warganya. Sebuah gerakan sipil bisa dimulai: mulai dari menuntut publikasi APBD untuk Ciputat, mendesak DPRD membuat rapat dengar pendapat tentang penataan kota, hingga mengusulkan desain alun-alun kota sebagai proyek kolaboratif warga dan pemerintah.

Bahkan bisa dibayangkan, bagaimana jika warga, mahasiswa, dan komunitas lokal membuat semacam “Urban Festival Ciputat” di tengah ruang-ruang publik yang minim sebagai bentuk satire urban atas matinya visi kota di pusat pemerintahannya sendiri?

Menuntut Perubahan: Dari Simbol ke Aksi

Tangerang Selatan bukan hanya kota impian para developer. Ia adalah kota tempat puluhan ribu warga menggantungkan harapan hidup mereka bukan hanya untuk tinggal, tetapi untuk hidup dalam ruang yang manusiawi.

Ciputat sebagai ibu kota tidak boleh dibiarkan menjadi simbol kegagalan. Sebaliknya, ia harus menjadi pusat perbaikan baik dari sisi fisik, manajemen, maupun keadilan ruang. Kalau hampir seluruh Tangsel sudah ditata oleh swasta, maka tanggung jawab moral, politik, dan anggaran publik pemerintah harusnya tertumpah penuh ke Ciputat dan wilayah sekitarnya. Karena di sanalah negara masih punya peran utuh, bukan sekadar jadi penonton tata kota oleh korporasi.

Kita tidak butuh kota yang hanya bagus di brosur properti. Kita butuh kota yang adil, tertata, dan berpihak pada warganya sendiri. Dan semua itu harus dimulai dari Ciputat dari pusat yang hari ini nyaris tanpa pusat.

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie