Penulis: Surya Ramdan Tri Utama
Dalam dinamika kehidupan modern, kita dihadapkan pada sebuah fenomena yang mendalam dan meluas yang disebut globalisasi. Fenomena ini telah mengubah cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, berdagang, hingga cara kita berbudaya. Globalisasi hadir sebagai tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah, menawarkan gagasan-gagasan baru untuk diikuti oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Namun, di balik kemajuan teknologi dan kemudahan akses informasi yang ditawarkannya, globalisasi membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membuka peluang pertumbuhan; di sisi lain, ia menghadirkan tantangan besar bagi eksistensi budaya lokal. Kita kini menyaksikan sebuah realitas di mana budaya masyarakat perlahan-lahan semakin jauh dari akarnya. Budaya dominan dari luar sering kali menekan budaya lokal yang lebih lemah, menciptakan sebuah pertarungan identitas yang tidak seimbang.Disini akan di jabarkan bagaimana akar budaya tersebut tergerus dari berbagai aspek, mulai dari nilai-nilai filosofis, pola konsumsi, hingga struktur sosial masyarakat.
Westernisasi dan Erosi Nilai-Nilai Luhur
Salah satu dampak paling nyata dari menjauhnya masyarakat dari akarnya adalah fenomena westernisasi, atau kecenderungan meniru budaya kebarat-baratan. Banyak generasi muda bangsa Indonesia yang kini lebih fasih dengan gaya hidup yang kebarat-baratan daripada warisan leluhurnya sendiri. Akibat belum mampunyai generasi muda yang dapat menyaring (memfilter) efek globalisasi, sehingga terjadi degradasi budaya yang signifikan.
Pergeseran ini bukan sekadar perubahan penampilan luar, tetapi menyentuh inti karakter bangsa. Nilai-nilai luhur seperti gotong royong, rasa kekeluargaan, nasionalisme, dan patriotisme mulai luntur. Sebagai gantinya, muncul sikap-sikap baru yang tidak sesuai dengan kultur asli, seperti hedonisme (mengejar kesenangan semata), pola hidup konsumtif, dan individualisme yang tinggi.
Teknologi informasi dan media sosial memegang peranan kunci dalam percepatan proses ini. Platform digital menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan budaya populer yang memengaruhi cara hidup, berpakaian, bahkan cara berbahasa manusia di seluruh dunia. Akibatnya, identitas asli suatu daerah terancam hilang, dan terjadi erosi nilai-nilai budaya yang telah lama dipegang teguh. Bahkan dalam aspek fisik, kita bisa melihat bangunan-bangunan modern mulai menggantikan rumah-rumah tradisional, yang menyebabkan pudarnya nilai estetika dan filosofi warisan nenek moyang.
Dislokasi Budaya: Studi Kasus Hilangnya Makna dalam Kepraktisan
Untuk memahami betapa jauhnya masyarakat telah meninggalkan akarnya, kita dapat melihat secara mendalam pada studi kasus masyarakat Asmat di Papua. Di sana terjadi apa yang disebut sebagai “dislokasi budaya,” yaitu kondisi di mana elemen budaya tradisional terputus atau tergeser oleh pengaruh modernitas.
Secara tradisional, bagi masyarakat Asmat, sagu bukan sekadar makanan pokok. Sagu memiliki makna filosofis sebagai “ibu” yang memberi kehidupan, perlindungan, dan kesejahteraan. Sagu adalah simbol identitas yang menyatu dalam aktivitas sosial dan ritual, seperti pesta ulat sagu dan upacara kematian. Namun, modernitas telah mengubah cara pandang ini secara drastis.
Kini, terjadi pergeseran pola konsumsi yang signifikan. Masyarakat, terutama generasi muda, mulai meninggalkan sagu dan beralih ke beras atau mi instan. Alasannya sederhana: kepraktisan. Gaya hidup modern menuntut segala sesuatu yang serba cepat dan instan. Akibatnya, rutinitas tradisional seperti memangkur sagu yang membutuhkan kerja keras dan kebersamaan mulai ditinggalkan.
Perubahan ini bukan sekadar soal perut kenyang.Tetapi ketika masyarakat berhenti mengolah sagu secara tradisional, mereka kehilangan momen sosial dan religius yang mempererat ikatan komunitas. Sagu yang dulunya sakral kini mengalami reduksi ( pengurangan ) makna menjadi sekadar komoditas biasa yang “kuno” dan tidak praktis. Inilah bukti nyata bagaimana masyarakat menjauh dari akarnya: mereka memilih kenyamanan instan modernitas dan mengorbankan kedalaman makna tradisi.
Terputusnya Pewarisan Antargenerasi
Aspek krusial lain yang menyebabkan budaya semakin asing bagi pemiliknya adalah terputusnya transmisi pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda. Di masa lalu, orang tua dan tetua adat berperan aktif mengajarkan nilai budaya melalui praktik langsung. Namun, arus informasi global dan gawai (gadget) telah mengalihkan perhatian generasi muda.
Dalam kasus di Asmat, banyak anak muda yang tidak lagi tahu cara mengambil sagu karena lebih sibuk dengan telepon genggam atau tinggal di kota. Terdapat kesenjangan (gap) pengetahuan yang lebar; generasi tua masih memegang adat, sementara generasi muda menganggapnya asing. Fenomena ini diperparah oleh pendidikan formal yang cenderung menekankan kurikulum nasional dan teknologi, namun kurang memasukkan unsur kearifan lokal.
Akibatnya, terjadi apa yang disebut oleh sosiolog Anthony Giddens sebagai disembedding mechanisms atau mekanisme pencabutan, di mana praktik sosial tercabut dari konteks lokalnya. Generasi muda kehilangan keterikatan dengan sejarah dan lingkungannya, sehingga identitas budaya mereka menjadi rapuh.
Dilema Ekonomi dan Perubahan Hubungan dengan Alam
Menjauhnya masyarakat dari akar budaya juga terlihat dari perubahan hubungan mereka dengan alam. Secara tradisional, masyarakat adat memiliki hubungan mutualistik dengan alam; alam dianggap sebagai subjek yang harus dihormati. Namun, desakan ekonomi dan gaya hidup modern mengubah alam menjadi objek eksploitasi.
Masyarakat sering kali dihadapkan pada dilema antara mempertahankan nilai budaya atau memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak. Dalam banyak kasus, tanah adat dijual atau hutan sagu dialihfungsikan menjadi lahan lain demi keuntungan finansial sesaat. Sifat komunal yang dulu kuat di mana sumber daya dibagi bersama ,berubah menjadi individualistik dan berorientasi pada uang. Ketika alam rusak, basis material dari kebudayaan itu sendiri (seperti pohon sagu untuk ritual) hilang, sehingga semakin sulit bagi masyarakat untuk kembali ke akarnya.
Upaya Mitigasi dan Harapan di Tengah Krisis
Meskipun gambaran di atas tampak suram, budaya lokal tidak sepenuhnya mati. Terdapat fenomena menarik di mana di tengah tekanan globalisasi, muncul kerinduan untuk “kembali ke akar.” Masyarakat modern mulai mencari otentisitas dalam budaya lokal, baik dalam seni, musik, maupun kuliner.
Namun, strategi mitigasi yang ada saat ini sering kali belum efektif karena adanya kesenjangan antara teori dan praktik. Upaya mempertahankan budaya lokal memerlukan pendekatan yang lebih dari sekadar slogan. Akan tetapi, juga harus diperlukan strategi yang adaptif dan fleksibel, di mana budaya lokal dilihat sebagai entitas dinamis yang bisa berevolusi tanpa kehilangan esensinya.
Pendidikan berbasis kearifan lokal dan peran aktif lembaga adat sangat diperlukan untuk menumbuhkan kembali rasa cinta dan penghargaan terhadap warisan leluhur. Selain itu, penting untuk memfilter pengaruh globalisasi agar kita dapat mengambil manfaat positifnya (seperti kemajuan teknologi) tanpa harus kehilangan jati diri.
Fenomena masyarakat yang semakin jauh dari akarnya adalah konsekuensi logis dari interaksi global yang tak terhindarkan. Pergeseran dari nilai komunal ke individualis, dari proses bermakna ke hasil instan, dan dari sakralitas alam ke komoditas ekonomi, adalah tanda-tanda nyata dislokasi budaya.
Jika dibiarkan, kita berisiko menjadi bangsa yang modern secara fisik namun kosong secara jiwa. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi kuat antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan untuk melakukan mitigasi. Kita harus menyadari bahwa melestarikan budaya bukan berarti menolak kemajuan, melainkan memastikan bahwa kemajuan tersebut tetap berakar kuat pada identitas kita sendiri. Hanya dengan cara itulah budaya lokal dapat bertahan, merespon, dan tumbuh berdampingan dengan arus globalisasi.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami