__temp__ __location__

Penulis : Fearlyta

​Di era digital yang memudahkan kita untuk mengakses berbagai informasi secara instan. Ternyata, di balik kemudahan dan kenyamanan ini, tersembunyi sebuah ancaman yang dijuluki Brain Rot sebuah istilah yang dengan cepat menjadi populer untuk menggambarkan kondisi penurunan fungsi kognitif otak akibat konsumsi konten digital yang berlebihan, receh, dangkal dan tidak berkualitas. Fenomena ini muncul dari kebiasaan individu seperti terlalu lama scrolling dan paparan video pendek, ini merupakan sebuah racun yang secara perlahan namun pasti dapat merusak fondasi kemajuan suatu negara jika sumber daya manusia di dalamnya mengalami persoalan tersebut. ​ Brain rot , atau secara harfiah "pembusukan otak," merupakan deskripsi tentang bagaimana otak menjadi "lemah" atau "membusuk" karena terbiasa dengan sesuatu yang cepat, instan dan tanpa tujuan. Konten-konten digital memang memicu pelepasan dopamin secara instan, seperti meme dan hiburan receh. Otak pada dasarnya suka pada hal yang cepat dan efisien, tetapi otak tidak mengetahui konten tersebut baik atau tidak terhadap kita. Akibatnya, otak berfikir “ternyata ada cara yang lebih instan untuk mendapat dopamin dari scrolling media sosail ini dibanding melakukan hal yang membuat tubuh lelah seperti berolahraga, belajar, dan bersosialisasi”. Brain rot menghilangkan kemampuan kritis masyarakat untuk  bangsa dalam fokus jangka panjang, analisis mendalam, dan pemecahan masalah secara kompleks yang menyebabkan kemunduran secara berkala.​Dampak langsung dari brain ro t adalah penurunan drastis dalam fokus dan kemampuan berkonsentrasi. Jadi memerlukan konsentrasi dan ketelitian tinggi untuk membaca dokumen panjang, menyusun laporan, atau melakukan penelitian. Seseorang yang terkena, seringkali lebih mudah merasa bosan dan mudah terdistraksi ketika dihadapkan tugas yang memerlukan pemikiran jangka panjang. 

Ancaman ini secara langsung menyerang produktivitas bangsa. Di sektor pemerintahan, bisnis, dan pendidikan, penurunan kualitas analisis serta ketelitian kerja akan menghasilkan keputusan yang buruk, inovasi yang terhambat atau tidak kreatif. Sumber daya manusia yang seharusnya menjadi penggerak kemajuan, justru malah menjadi beban yang rentan terhadap kesalahan dangkal. Brain rot menghambat perkembangan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan untuk memproses informasi dari berbagai sudut pandang, membedakan fakta dan opini. Ketika otak terbiasa menerima informasi dalam bentuk kilasan atau cuplikan cepat, ini membuat kehilangan kemampuan otak untuk mendalalami suatu materi dalam waktu yang lama. Ketidakadaan kemampuan inilah yang membuka pintu bagi penyebaran hoaks karena minimnya informasi yang di terima. Masyarakat yang kesulitan menganalisis informasi akan lebih mudah dimanipulasi, yang menimbulkan ancaman stabilitas sosial dan politik. Sebuah negara yang populasinya tidak mampu berpikir kritis adalah negara rapuh di hadapan propaganda dan polarisasi. Bayangkan dampaknya pada generasi muda, yang merupakan perintis dan pewaris masa depan bangsa negara tersebut. Jika mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling media sosial daripada terlibat dalam kegiatan menantang yang memerlukan proses berpikir yang mendalam, riset atau mempelajari hal baru, maka negara tersebut bisa dipastikan mengalami kesenjangan sumber daya manusianya. Kesenjangan pengetahuan dan keterampilan akan melebar, menjadikan negara tersebut tertinggal dalam kemajuan teknologi dan perekonomian. ​

Solusi membenahi otak agar fungsi nya kembali sebagaimana mestinya. Mengatasi fenomena ini    bukan dengan cara menghapus secara total akses ke dunia digital, tetapi dengan perubahan kualitas dan kesadaran, negara harus membuka mata terhadap masalah brain rot , dengan cara: Penguatan Literasi Digital dan Kritis: Kurikulum pendidikan harus memasukkan mata pelajaran yang secara mengajarkan identifikasi konten berkualitas, dan teknik berpikir kritis. Masyarakat harus didorong untuk menjadi produsen konten yang bijak dan sebagai konsumen yang bisa memilah mana konten bermutu dan tidak. 

Mendorong Aktivitas Berpikir yang Menantang: Pemerintah perlu mempromosikan kegiatan yang melatih fungsi kognitif jangka panjang, seperti membaca buku secara mendalam, debat, pemecahan masalah kompleks, dan proyek-proyek berbasis penelitian. 

​Kampanye Kesadaran: Harus ada kampanye yang untuk meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya brain rot dan cara mengelola waktu layar (screen time) secara sehat. Pada akhirnya, kemajuan suatu negara tidak hanya diukur dari struktur pemerintah dan luarnya saja, tetapi juga dari kualitas rakyatnya. Brain rot adalah ancaman nyata yang mengubah potensi seseorang menjadi tak peduli, tidak memiliki minat pada suatu hal dan dangkal. Jika sebuah bangsa membiarkan otaknya "membusuk" karena konten digital yang tidak bermutu, maka ambisi untuk menjadi negara maju hanyalah ilusi. Dengan evaluasi diri, kita harus memastikan bahwa teknologi menjadi alat untuk pencerahan, bukan penghambat untuk kemampuan berpikir.

Anang Kurniawan

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie